Mimik muka Doni begitu serius menyimak cerita anak yang baru ditemuinya. Berbagai pertanyaan yang dari tadi bergelantungan di otaknya, mulai terjawab satu persatu. Dan sekarang hatinya sedang berkecamuk, peperangan untuk tetap kuliah dan kembali pulang ke rumahnya terjadi dengan begitu sengit di dalam sana.
“Begitulah kak ceritanya.” Ucap Ahmad sembari mengusap air mata yang membanjiri wajahnya.
“Jadi seperti itu. Kakakmu kuliah ke kota lain dan tak pernah menghubungi dirimu sama sekali hingga saat ini.” Sambil menatap wajah Ahmad dengan mata yang nanar.
“Iya kak. Sampai saat ini aku tidak pernah mendapat kabar darinya. Padahal kakakku berjanji akan selalu mengirim surat untukku dan tiap bulan ia akan pulang. Tapi itu semua hanya kebohongan belaka.”
“Lalu kenapa saat itu kau membiarkannya pergi?” tanya Doni penasaran.
“Kan sudah aku bilang tadi. Justru aku yang menyuruhnya untuk pergi.”
“Kenapa kau melakukan hal itu?”
“Setelah ayah dan ibu meninggal, kakakku begitu mencemaskan diriku. Padahal ia mempunyai cita-cita yang tinggi sejak kecil. Ia selalu berkata ingin menjadi dokter. Mana mungkin aku membiarkan diriku menjadi penghalang untuk menggampai mimpinya.”
“Dokter?” Tanya Doni memastikan.
“Iya kak.”
Doni seperti merasa dipermainkan oleh Tuhan saat itu. Bagaimana mungkin ia bisa bertemu seseorang yang mengalami peristiwa persis seperti dirinya. Ditinggal pergi orang tuanya, menjadi seorang dokter, kuliah di luar kota. Ia benar-benar merasa bingung saat itu. Batinnya pun menjerit.
Ya Allah. Apa maksud dari semua ini? apa yang sebenarnya ingin kau tunjukkan padaku? tolong beri petunjukmu, sehingga aku bisa mendapatkan jawaban dari semua ini. Sehingga aku tahu apa yang harus aku lakukan.
“Nasibmu benar-benar malang. Ceritamu membuatku tidak yakin untuk tetap kuliah disini.” Ucap Doni lirih.
Ahmad menatapnya dalam-dalam. Lalu memegang tangannya. “Kak Doni? maaf kalau ceritaku malah membuatmu ingin membuang mimpimu. Tapi kau harus percaya dengan apa yang kau kejar. Kalau kau tidak yakin dengan apa yang kau lakukan, lebih baik kau berhenti saja. Karena semuanya akan menjadi sia-sia.”
“Haha.” Doni tertawa ringan.
“Kenapa kakak malah tertawa?” Tanya Ahmad penasaran.
“Kau itu benar-benar aneh.”
“Aneh gimana kak?”
“Iya Aneh. Untuk ukuran anak sepertimu, bicaramu terlalu dewasa. Bahkan dari sudut mataku, kau belum pantas menyusun kalimat-kalimat tadi. Itu terdengar tidak natural di telingaku.”
“Owh.” Ahmad pun tersenyum. “Kondisi yang memaksaku untuk menjadi seperti ini. Hidup sebatang kara di kota sebesar ini, membuatku bertransformasi jauh melebihi umurku. Disaat anak-anak seusiaku sedang nikmat-nikmatnya bermain, aku harus bekerja mencari uang. Disaat yang lain sibuk menuntut ilmu, aku berkeliaran di jalanan.”
Doni menatap dengan tatapan memelas. “Sungguh kasihan benar nasibmu, dik.”
“Jangan menatapku dengan tatapan kasihan seperti itu, Kak? aku paling benci hal itu. Yaaah. Aku hanya mencoba menjalani ini dengan ikhlas. Aku yakin dibalik musibah akan ada kenikmatan yang luar biasa.”
Doni memegang pundak Ahmad dengan lembut. Dan menatapnya dengan penuh kasih. “Ikutlah denganku, Dik? ayo kamu pulang bersamaku ke kotaku. Kita sama. Aku juga sebatang kara. Aku tidak bisa janji untuk menyekolahkanmu, tetapi paling tidak disana kau tidak akan kesepian dan kau tidak perlu takut lagi diganggu preman.”
“Terima kasih kak untuk tawarannya. Tapi aku tak bisa.” Balas Ahmad.
“Kenapa?”
“Tidak mungkin bagiku untuk meninggalkan kota ini. Jika suatu saat kakakku kembali dan ia tak menemukan diriku, ia juga akan kesepian seperti ini. Dan aku tak mau itu terjadi.”
Doni mengguncangkan tubuh Ahmad dengan keras. “Ahmad! Buka matamu! Kakakmu sudah mencampakkan dirimu. Ia telah melupakanmu. Untuk apa lagi kau mengharapkan kepulangannya?” Ucap Doni begitu emosi.
Ahmad memegang telapak tangan Doni dengan penuh cinta. Matanya seperti tampak memancarkan cahaya keindahan. “Kakak. Seperti apapun sikap kakakku kepadaku, ia tetap saudara kandungku. Di dunia ini hanya dialah yang aku miliki.
Dan aku yakin, suatu saat kakakku akan kembali. Dan walaupun kota ini diguncang dengan gempa yang dasyat, aku tak akan pernah pergi dari sini.”
Doni merasakan matanya menjadi hangat. Dan lambat laun butiran-butiran putih berjatuhan dari pelupuk matanya.
“Kau benar-benar luar biasa dik. Kau begitu mencintaimu kakakmu.” Ucap Doni sambil sesenggukan”
Ahmad mengerutkan air mata Doni dengan lembut. “Sudah kak. Jangan menangis lagi. Memangnya aku bicara apa hingga kakak bisa meneteskan air mata seperti ini. Apa mungkin aku berbakat ya untuk menjadi seorang pencerita atau aktor. Hehehe.” Ahmad tertawa ringan.
“Hahaha. Mungkin iya Mad. Bisa kau coba itu.” Ucap Doni sembari membersihkan air mata yang masih menempel di matanya.
“Baiklah Kak. Saya harus bekerja lagi. Rasa penat saya sepertinya sudah hilang. Terima kasih karena kakak telah menolongku hari ini. Serta mau menemaniku untuk berbicara dari hati ke hati.”
“Dari hati ke hati. Haha. Kamu itu benar-benar seorang anak yang dewasa sebelum waktunya.”
Ahmad beranjak dari tempatnya. Lalu tersenyum ke arah Doni. “Tapi aku nyaman kok kak dengan kondisi ini. Ya udah, aku pamit dulu ya kak Doni. Aku harap kita bisa bertemu lagi suatu saat. Dan saat itu akan aku kenalkan kakakku kepadamu.”
“Tunggu. Sergah Doni.”
Ahmad-pun menghentikan langkahnya. Dan kembali menoleh ke arah Doni. “Ada apa lagi kak?”
Doni segera berdiri dan berjalan ke arahnya. Tangannya aktif merogoh saku belakang, lalau mengambil dompetnya. “Ini untukmu.” Doni menyerahkan uang 50.000.
“Apa ini kak?”
“Ini untukmu. Tadi aku sudah berjanji kan bahwa aku yang akan membelikan makan malam untukmu.”
“Tapi kak, tadi aku hanya bercanda. Dan ini juga terlalu banyak.”
Doni segera meletakkan uang itu di tangan Ahmad dengan begitu cepat. Hingga Ahmad tak mampu mengelak. “Sudah ambil saja. Bisa untuk keperluanmu yang lain kan?”
“Kalau kakak memaksa, aku tak bisa menolak. Terima kasih Kak?” Ucap Ahmad sambil tersenyum.
Doni pun membalas dengan senyuman yang tak kalah indah. “Sama-sama.”
Ahmad kembali melangkahkan kakinya meninggalkan masjid ini. Melesatkan dirinya untuk berburu rezeki yang sudah dijanjikan. Doni menatapnya dengan tatapan tak rela. Saat itu ia merasa seperti terlempar ke kejadian yang sama. Hanya saja adiknya yang pergi meninggalkan dirinya.
Bayangan punggung Ahmad mulai memudar lalu benar-benar hilang dari pandangannya. Di Teras masjid ini, disaksikan oleh ubin yang diam membisu, Doni seperti mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang dari tadi mendiami hatinya. Ia pun tahu apa yang harus diperbuatnya. Dan Doni ingin segera menyelesaikan semua hal yang begitu rumit ini.
Salam hangat dari kami Bamz Production
0 komentar:
Posting Komentar