Secuil Cinta Untuk Ayah
Malam mulai menyerang,
menebar kegelapan di setiap penjuru dunia. Bintang-gemintang mulai kembali ke
tempatnya. Berkilauan dengan begitu
cantik di langit sana. Bulan nan fitri
mendampingi mereka dengan begitu anggunnya.
Aku masih terdiam di
kamarku yang berukuran 3 x 4 meter ini. Ditemani dengan suara jangkrik yang
bersahut-sahutan di luar sana. Ribuan nyamuk yang terus menyerangku tanpa
ampun. Dan sebuah foto yang kugenggam dengan erat di tanganku.
Sambil kusandarkan
tubuhku pada lemari, tak henti-hentinya mata ini terus mengalirkan air suci
yang tak kunjung habis. Aku sudah mencoba sekuat tenaga untuk menghentikannya
namun ku tetap tak bisa.
Ayah.
Ayah.
Tak henti-hentinya nama itu terlantun dari bibirku. Dan setiap kali nama itu
kuucap, hatiku menjadi begitu remuk. Sakit sekali rasanya. Dan dari tadi terus
seperti itu tanpa ada obat yang mampu menyembuhkan.
Nasi sudah menjadi
bubur. Itulah ungkapan banyak orang untuk penyesalan. Sesuatu yang sudah
terjadi tak mungkin bisa kembali seperti semula. Dan itu juga yang saat ini
menimpa diriku. Dan penyesalan itu begitu tergambar di wajahku ini.
Berkali-kali aku
mencubit pipiku, tanganku, kakiku, dan bagian tubuhku lainnya. Semua terasa
sakit, berarti ini adalah kenyataan. Padahal aku benar-benar berharap bahwa ini
hanyalah mimpi. Aku terus berusaha bangun dari tidurku dan berharap pagi yang
indah datang menjemputku. Namun tak ada gunanya. Aku masih berada di tempat yang sama.
Kuangkat foto yang tadi
terus tergenggam erat di tangan. Perlahan demi perlahan kuhadapkan foto itu
padaku. Tampak disana wajah ayahku yang begitu tampan dan gagah. Lengkap dengan
senyuman yang membuat hatiku menjadi getir. Dan aku pun menangis lagi.
Benar kata orang,
seseorang baru merasa orang itu penting baginya ketika ia sudah tak berada lagi
disisinya. Dan itulah yang kurasakan saat ini, di tempat ini, dan sejak tadi
pagi hingga sekarang.
Masih tergambar jelas
semua peristiwa hari ini. Semua tampak berlalu begitu cepat. Sang waktu tak
memberikan sedikitpun kesempatan padaku untuk duduk sejenak dan berpikir. Aku
dipaksa terus melakukan hal-hal yang mengiris tubuh-tubuhku.
Pagi itu seperti
biasanya aku bangun tepat pukul 04.30. Senandung Adzan dari para muadzin
langsung menyapaku. Aku langkahkan kakiku dengan perlahan ke kamar mandi.
Rasanya begitu berat, seperti ada yang menghalangiku untuk bergerak. Seperti
ada yang menyuruhku untuk tetap menikmati tidurku hingga fajar merekah di ufuk
timur lagi.
Hawa dingin langsung
menggelanyuti tubuhku ketika aku mengambil wudhu.
Namun anehnya malam air itu memberikan kesegaran untukku. Rasa kantuk dan capek yang tadi masih terus menemaniku,
hilang begitu saja. Entah mereka lari kemana. Aku tak terlalu memikirkan.
Segera setelah itu, aku
semprotkan minyak wangi ke seluruh bagian tubuhku. Bau yang harus langsung
memenuhi ruangan itu, yang terkadang bau ini malah begitu dibenci oleh ibuku.
Aku segera berlari
mengambil sarung dan baju muslimku, lalu memakainya. Aku langsung saja berlari
secepat kilat ke masjid. Setelah mengucap salam kepada ibuku. Aku tak tahu
apakah ibuku mendengar atau tidak yang penting aku bisa segera sampai ke
masjid.
Iqamah telah
mengaung-ngaung memecah kesunyian malam. Terkadang aku agak sebal dengan para
muadzin itu, kenapa begitu cepat mengumandangkan iqamah, kenapa tidak .aku
selalu terhipnotis melihat senyuman yang cantik itu.
***
Aku pulang dari masjid
dengan penuh kebahagiaan. Hatiku begitu berbunga-bunga karena telah bertemu
dengan yang kucinta. Walau aku pun tak tahu betapa besar rasa cintaku ini, tapi
aku yakin aku mencintai Allah. Walau aku tak yakin apakah Allah adalah yang
selalu aku nomer satukan, tapi aku ingin bertemu dengan-Nya kelak.
Aku sampai ke rumah.
Namun senyuman yang tadi terus merekah di sudut mulutku, hilang begitu saja.
Aku langsung mengerutkan keningku. Tak paham dengan apa yang aku lihat ini.
Aku berjalan mendekati
kakak dan adikku yang menangis tersedu-sedu di ruang tamu. Dan dari ruangan ini
pula aku bisa mendengar isakan tangis dari ibuku. Apa yang terjadi? sebenarnya ada apa ini? pertanyaan itu terus
berputar-putar di kepalaku.
“Ada apa kak?” tanyaku perlahan
setelah aku duduk di sampingnya.
“Ayah, dek. Ayah.”
Jawab kakakku sambil sesenggukan.
“Ayah kenapa kak?
Kenapa?” tanyaku mulai ketakutan.
Kakakku tak menjawab
lagi. Ia bagaikan terkena bogem dari seorang petinju. Jatuh tersungkur begitu
saja. Aku menjadi semakin kalut dan takut. Orang-orang di sekitarku langsung
merubung ke arahku. Mereka bahu-membahu menyadarkan kakakku yang pingsan tak
berdaya.
Begitu kakak ditangani,
aku langsung menghambur ke dalam. Betapa takjubnya diriku, melihat ayah sudah
terbalut kain kafan. Wajahnya yang ceria sudah menjadi kaku, tanpa ekspresi
apapun. Hatiku seperti tertusuk belati rasanya. Begitu sakit dan perih. Air sungai
yang memang sejak tadi sudah ingin mengalir, jatuh begitu saja dari pelupuk
mataku.
Aku berjalan dengan
gontai mendekati ayahku. Tampak di mataku, ibu yang terus menangis sambil
memegang tangan ayah.
“Ibu.” Ucapku pelan.
Ibu langsung menoleh ke
arahku, dan memelukku. “Ayahmu, Al.
Ayahmu.” Kata ibuku dengan suara yang bergetar.
Aku mencoba menahan
rasa sakit di hatiku. Aku mencoba bersikap bak seorang lelaki di keluarga ini.
Aku harus tegar. Aku tak boleh menangis supaya bisa menjadi tempat bersandar
untuk keluargaku. “Iya ibu. Aldi tahu. Ayah telah kembali ke Allah.” Ucapku
tegar.
Setelah itu waktu
seperti angin topan yang melanda. Begitu cepat rentetan peristiwa di depanku.
Tratak didirikan, bendera kuning ditancapkan, warga-warga datang, ayahku
dimandikan, dikafani, disalatkan, dan dimakamkan. Semua masih tak masuk akal
dalam pikiranku.
Di kamarku yang berdiam
diri, di malam yang sunyi. Aku mencoba berpikir tentang peristiwa yang
menimpaku. Namun tak jua ada jawaban. “Allah. Kenapa? kenapa ini terjadi
padaku? apa sebenarnya yang ingin kau tunjukkan padaku? apa jawaban dari semua
peristiwa ini?” ucapku lirih.
“Ya Allah. Ya Tuhanku.
Bukan aku tidak ikhlas untuk melepas ayahku. Aku tidak punya hak untuk
melakukan itu. Kami semua milik-Mu, jadi engkau punya kebebasan untuk mengambil
kami kapanku engkau mau. Tetapi kenapa begitu mendadak? paling tidak izinkan
aku untuk meminta maaf kepadanya atas kesalahanku.” Ucapku lebih keras dengan
air mata yang mengalir lebih deras.
Hari ini Allah telah
membuka pikiranku. Bahwa hidup ini bisa berakhir kapan saja. Aku berharap masih
bisa memberikan cinta kepada ayahku walau hanya secuil. Namun tak bisa. Nasi
sudah terlanjur menjadi bubur. Mungkin sekarang yang bisa kulakukan adalah
mencurahkan segala cintaku untuk ibu, kakak, dan adikku.
Salam hangat dari kami Bamz Production
0 komentar:
Posting Komentar