Matahari
sedang bersinar dengan teriknya. Menyengat kulit manusia yang berjalan di
bawahnya. Debu-debu yang diterbangkan oleh angin menjadikan penglihatan menjadi
tidak nyaman. Asap-asap kendaraan membuat pernafasan menjadi sesak. Lengkaplah
hari ini menjadi sebuah kondisi yang tidak nyaman untuk dilalui.
Seorang
pemuda keluar dari rumahnya dengan wajah begitu marah. Dari mulutnya terus
keluar kata-kata yang tidak layak diucapkan. Sementara di belakangnya ada
pasangan suami istri yang memandang kepergiannya dengan kesedihan yang sangat.
Wajah mereka sudah nampak berkerut, bahkan sang suami sudah mulai beruban. Tampak
rasa kecewa di wajah keduanya. Bahkan sang istri terus memegangi dadanya
menahan rasa sakit di hatinya. Air mata mengalir deras di pipinya.
Abdul
Rahman adalah nama pemuda itu. Pemuda yang diharapkan orang tuanya menjadi
seorang hamba yang penyayang. Mengasihi sesama manusia dan makhluk hidup
lainnya. Namun sifat yang diharapkan itu tidak melekat pada dirinya. Ia baru
saja dengan tega menyakiti hati kedua orang tuanya. Masalahnya sepele. Ia
meminta dibelikan motor baru, namun orang tuanya tak sanggup memenuhi
keinginannya. Ayahnya hanya seorang buruh kebun, sedangkan ibunya menjajakan
gorengan setiap harinya. Untuk
menyekolahkan Rahman sampai SMA saja mereka sudah mati-matian. Kerja tak kenal
lelah dari pagi hingga malam supaya anaknya tidak mengalami nasib sama seperti
mereka.
Belum pernah hati sang ibu tersakiti seperti
saat ini. Bagai ditusuk ribuan bilah pedang rasanya. Dengan tega Rahman
mengatakan bahwa dirinya menyesal dilahirkan dari rahimnya. Bahkan kalau bisa,
ia ingin mati saja. Dirinya sudah lelah terus hidup dalam kemiskinan. Berkumpul
bersama keluarga yang tidak bisa menuruti apa yang diinginkannya. Ibunya hanya
bisa menangis saja mendengar kata-kata anaknya ini. Padahal Jika ia mengucap
do’a kepada Allah untuk menghukum sang anak, Rahman mungkin sudah diadzab
dengan sangat pedih karena kedurhakaannya.
***
Rahman
berjalan cukup jauh meninggalkan rumahnya. Tak ia pikirkan apa yang akan
terjadi pada kedua orang tuanya. Rasa sayang dan baktinya selama ini sudah
tertutupi oleh kejengkelan yang dalam. Kebaikan orang tuanya selama ini telah
hilang tersapu oleh nafsu dunia yang membutakan.
Lelah
berjalan, Rahman mengistirahatkan tubuhnya sejenak. Ia duduk di depan toko yang
masih tutup. Angin segar langsung menyapanya. Angin ini cukup manjur
menentramkan hatinya yang sedang marah. Ia amati daerah sekitarnya, tampak
beberapa orang sedang menjajakan jualannya di pinggir jalan. Ada juga sepasang
muda-mudi yang baru keluar dari mobilnya. “Ah mereka pasti sepasang kekasih.
Enak sekali kalau bisa punya mobil. Kalau aku tidak dilahirkan dari kedua orang
tua yang tidak berguna itu, kalau orang tuaku kaya raya, pasti aku sudah punya
fasilitas sebagus itu.” Arman bergumam di dalam hatinya. Ia amati lagi
sekelilingnya. Kali ini ia lihat seorang tukang sol sepatu. Entah kenapa Rahman
merasa pemandangannya jadi terganggu. Tukang sol sepatu itu mengingatkan pada
orang tuanya yang membuatnya jengkel setengah mati. Terbersit sebuah pikiran
untuk melampiaskan kemarahannya pada tukang sol sepatu itu.
Rahman
berjalan mendekati tukang sol sepatu ini dengan wajah merah padam. Tanpa alasan
apapun ia hendak menghajar tukang sol sepatu itu. Yang ia anggap sebagai sampah
di sebuah taman yang indah. Sampah itu harus dibuang menurutnya. Ia tidak takut
kalau harus berkelahi dengannya. Yang penting rasa marahnya bisa tersalurkan
Ia
berjalan semakin dekat. Hampir saja ia meludah ke arah tukang sol sepatu itu.
Namun ada pemandangan yang membuat rasa marahnya runtuh begitu saja tergantikan
rasa iba yang mendalam. tukang sol sepatu itu hanya memiliki satu buah kaki.
Tanpa
diminta siapapun Rahman langsung duduk disamping tukang sol sepatu itu. Dalam
matanya tukang sol sepatu ini sudah begitu tua. Mungkin seumuran dengan
ayahnya. Wajahnya tampak begitu lelah, namun ia begitu menikmati pekerjaannya.
Tidak terbesit sedikitpun rasa menyesali keadaan pada dirinya.
“Mau
benerin seepatu dek?” Tanya tukang sol sepatu itu. Ia hadiahkan senyum kepada
Rahman.
Rahman
hanya menggeleng. Tidak menjawab satu kata pun.
“Nama
bapak siapa?” Tanya Rahman. Ia mulai membuka mulutnya.
“Anton
dek.” Jawab pak Anton dengan sopan. Tangannya begitu terampil menjahit sepatu
yang sudah koyak.
“Bapak
sudah lama kerja seperti ini?”Tanya Rahman lagi. Kali ini ia mulai bisa
menghilangkan rasa marahnya.
“Sudah
dek.” Jawab pak Anton lagi. Ia letakkan sepatu yang sudah diperbaiki dan
mengambil lagi yang masih koyak.
“Bapak
tidak protes kepada Allah karena diberi hidup seperti ini?” Rahman bertanya
kembali. Sesekali ia lirik kondisi kaki pak Anton.
Bapak
itu mengerutkan wajahnya. Ia tampak kaget dengan pertanyaan Rahman. Bapak ini
diam sebentar. Ia tahu ada yang salah dari anak muda ini. Dan sebagai orang
yang lebih tua, pak Anton mempunyai kewajiban untuk menyadarkan pemuda ini.
“Anak
muda? hati-hati kalau bicara. Sebaiknya pertama kamu memohon ampun kepada Allah
dulu atas perkataanmu.” Saran pak Anton. Kali ini pandangannya serius menatap
wajah Rahman.
“Untuk
apa bapak protes kepada Allah sementara bapak masih diberi banyak nikmat
seperti ini.” Pak anton melanjutkan perkataannya.
Rahman
terhenyak mendengar jawaban pak Rahman. Kata nikmat yang diucapkan kepadanya
menjadi sebuah tamparan untuk dirinya. Namun hal itu belum cukup untuk
menyadarkannya.
“Pak
saya mohon maaf dulu sebelumnya.” Rahman memohon maaf dulu atas pertanyaannya
agar pak Anton tidak tersinggung.
“Iya
dek.” Jawab pak Anton singkat. Sepertinya ia sudah tahu arah pembicaraan
Rahman.
“Kenapa
kaki bapak seperti itu?” Rahman bertanya seperti seorang detektif yang ingin
memecahkan sebuah kasus.
“Kaki
bapak diamputasi dek. Dulu ada virus di kaki bapak. Kalau tidak diamputasi
virus itu akan menyebar ke seluruh tubuh dan bisa membahayan nyawa bapak.” Pak
Anton menceritakan kejadian yang menimpanya. Ia tersenyum karena tebakannya
benar. Anak muda ini akan menanyakan kondisi kakinya. Rahman begitu serius
mendengarkan.
“Bapak
masih bersyukur kepada Allah atas musibah ini?” tanya Rahman lagi. Ia ingin
tahu lebih dalam tentang pribadi pak Anton.
“Jujur
awalnya bapak begitu marah dan kecewa ketika mendengar hal ini. Cobaan ini
menurut bapak sudah diluar kemampuan.” Pak Anton menghentikan penjelasannya. Ia
letakkan dulu sepatu yang dari tadi dipegangnya. Rahman tersenyum sinis.
Ternyata bapak ini juga pernah melakukan hal yang sama seperti dirinya. Kecewa
atas takdir dari tuhan-Nya.
“Tetapi
bapak sadar masih banyak nikmat yang diberikan Allah kepada bapak. kamu juga
bisa lihat kan bapak masih bisa bekerja dengan keterbatasan yang bapak punya.
Sementara ada orang yang bahkan tidak bisa pergi kemana-mana. Bapak juga masih
bisa menghirup oksigen secara gratis. Padahal banyak orang yang harus membayar
untuk menghirup oksigen ini. Bapak juga masih sehat, masih bisa melihat
keindahan yang diciptakan oleh Allah di bumi ini. Sementara banyak orang yang
harus menjadi pesakitan di rumah sakit. Mereka hanya bisa tidur tanpa melakukan
apapun. Allah masih begitu sayang kepada bapak. Jadi apakah pantas jika bapak
protes kepada Allah atas kondisi ini? sementara Allah masih begitu memberikan
nikmat yang banyak untuk bapak. ” Pak Anton kembali melanjutkan perkataannya.
Menjelaskan kepada Rahman tentang arti dari mensyukuri nikmat Allah. Ia harap
anak muda ini bisa menyadari kesalahannya. Pandangannya lurus menatap kedepan.
Mengamati kegiatan orang-orang di jalanan.
Kata
demi kata yang keluar dari pak Anton kembali
menjadi tamparan keras untuk dirinya. Memaksanya untuk sadar diri. Betapa
banyak nikmat yang sudah diberikan sang Illahi untuknya. Betapa banyak
pengorbanan yang dilakukan oleh orang tuanya selama ini.
Nanar
di matanya sudah mulai nampak. Tinggal menghitung waktu saja agar sungai itu
membanjiri wajahnya. Namun masih ada secuil batu hitam di hatinya yang masih
membuat Rahman tidak bisa menerima kondisinya.
“Kenapa
Pak Anton masih bekerja? mana anak-anak bapak? kenapa bukan mereka saja yang
bekerja? dan kalau memang harus bekerja kenapa tidak mengemis saja pak? dengan
kondisi bapak yang seperti ini kan bisnis seperti itu lebih menjanjikan.”
Rahman langsung memberondong pak Anton dengan pertanyaannya. Seperti ingin
segera ia habiskan daftar pertanyaan yang tersusun di otaknya.
“Bapak
sudah tidak punya keluarga nak. Anak dan istri bapak pergi meninggalkan bapak 3
tahun yang lalu saat mengetahui bapak akan menjadi cacat. Mereka pergi begitu
saja tanpa mengasihani bapak.” Jawab pak Anton dengan halus. Ia kembali
mengambil satu sepatu yang belum selesai dijahit. Sama sekali tak ada kebencian
di wajahnya.
“Terus
bapak tetap bisa menerima keadaan itu?” Rahman begitu heran dengan bapak ini.
Padahal kakinya tinggal satu dan semua keluarganya pergi entah kemana tetapi ia
masih tetap saja bisa bersyukur.
“Ini
semua sudah menjadi rencana Allah dek. Dan bapak yakin rencana ini akan baik
untuk bapak. Karena sebenarnya Allah itu tahu apa yang lebih baik untuk kita,
hanya saja hawa nafsu telah menyilaukan
mata kita akan kebenaran ini. Sehingga mereka selalu protes jika keinginannya
tidak terpenuhi.” Pak anton begitu jelas menjawab pertanyaan Rahman. Terkadang
ia menemukan kesulitan untuk menusukkan jarum ke sepatu.
Kali
ini jebol sudah bendungan yang menahan air di mata Rahman. Meluncur dengan
begitu deras menyapu semua pori-pori yang ada di kulitnya. Langit yang sempat
gelap kembali menjadi cerah. Seolah memperlihatkan hati Rahman yang sudah mulai
terang. Angin pun kembali mengalir dengan lembut seolah ikut hanyut dalam
peristiwa ini.
“Dan
untuk mengemis, bapak paling benci hal itu. Karena pekerjaan itu hanya untuk
orang-orang malas saja. Orang-orang seperti itu yang seharusnya dikasihani.
Orang-orang yang dikaruniai kelengkapan tubuh tetapi memilih melakukan
pekerjaan rendahan. Bapak lebih senang melakukan pekerjaan ini. Karena
pekerjaan inilah bapak merasa lebih terhormat dan diperlakukan seperti manusia
normal.” Pak Anton mengakhiri kata-katanya. Pekerjaannya pun sudah selesai.
Sepasang sepatu yang koyak sudah berubah menjadi baru kembali. Tampak wajahnya
begitu puas dan bangga.
Rahman
tidak mampu lagi untuk berkata-kata. Badannya benar-benar lemas. Ia sandarkan
punggungnya yang terasa begitu berat. Air mata terus mengalir deras di
wajahnya. Jutaan penyesalan muncul dalam hatinya. Ia ingin segera berlari
menemui ibu dan ayahnya. Bersujud sambil meminta maaf kepada mereka.
“Nak?
bapak tahu kamu pasti baru saja berbuat salah. Sekarang bapak yakin kau sudah
menyadarinya. Air matamu itu sudah mencerminkan penyesalan dalam dirimu. Yang
sekarang harus kau lakukan adalah kau meminta maaf kepada orang yang telah kau
sakiti. Ingatlah masih banyak hal yang bisa kau syukuri daripada memikirkan hal
yang belum kau punyai. Ketika kau kembali mengkufuri nikmat-Nya, ingatlah
bapak. Orang yang hanya punya satu kaki dan dicampakkan semua anggota keluarga
tetapi masih bisa tersenyum dan masih bisa mendapatkan rezeki dari-Nya. Dengan
begitu kau akan kembali bersyukur karena kau masih memiliki anggota tubuh yang
lengkap dan keluarga yang masih sayang padamu.” Pak Anton kembali menasehati
Rahman. Dia berharap Rahman tersadar. Sedangkan Rahman hanya bisa mendengarkan
sambil terus menangis.
Untuk
sesaat tidak ada lagi percakapan di antara mereka. Rahman masih saja terus
menangis. Ia hadapkan wajahnya ke langit membayangkan ayah ibunya. Entah apakah
ia benar-benar akan siap jika kedua orang tuanya ini pergi untuk selamanya. Ia
benar-benar ingin pulang untuk meminta maaf tetapi kakinya masih terasa lemas
karena telah berjalan jauh.
Sedangkan pak Anton asyik meneguk air putih
dari botolnya. Sesekali ia kibas-kibaskan kerah bajunya untuk mengusir rasa
gerah yang menyelimuti kulitnya. Orang-orang yang lalu lalang tak jarang berhenti
untuk melihat kondisi ini. Bahkan ada yang bertanya kenapa Rahman bisa
menangis. Pak Anton dengan senyumnya menjawab, “Pemuda ini sedang menyesali
kesalahannya.”
“Terima
kasih pak. Bapak sudah memberi pelajaran begitu banyak untuk saya. Sekarang
saya sadar bahwa masih banyak nikmat yang harus saya syukuri.” Rahman mulai
berbicara lagi. Air matanya sudah berhenti mengalir. Namun bekas aliran itu
masih tampak di pipinya.
“Iya
nak. Kita memang harus mensyukuri hidup kita, karena masih banyak orang yang
kurang beruntung di bawah kita. Contohnya kamu. Kamu pasti bersyukur karena
punya 2 kaki, daripada bapak yang hanya punya 1 kaki. Sedangkan bapak juga
masih bisa bersyukur karena masih punya 1 kaki yang bisa digunakan untuk
berjalan sedangkan bapak jamin di belahan bumi ini masih ada orang yang sama
sekali tidak bisa berjalan. Itulah nikmatnya syukur nak.” Pak Anton kembali
memberikan pelajaran kepada Rahman. Rahman hanya mengangguk-angguk saja tanda
paham.
Hari
ini Rahman begitu bahagia karena telah bertemu dengan seorang tukang sol sepatu
yang menurutnya sangat luar biasa. Di tengah keterbatasannya, bapak ini masih
mampu mensyukuri nikmat-Nya. Sedangkan ia yang masih dikaruniai kesempurnaan
malah selalu menuntut apa yang tidak bisa diberikan orang tuanya. Padahal
selama ini sudah banyak pengorbanan yang dilakukan orang tuanya. Termasuk
menyekolahkannya sampai SMA.
Rahman
begitu berterima kasih kepada Allah. Ia yakin Allah lah yang telah menuntun
langkahnya hingga ke tempat ini. Hingga dirinya bisa belajar langsung arti
mensyukuri nikmat dari pak Anton. Di kemudian hari ia berjanji tak akan ada
lagi air mata dari kedua orang tuanya. Yang ada hanya sebuah senyuman
kebanggaan di wajah mereka.
Sambil
menunggu tenaganya kembali, Rahman menawarkan bantuannya kepada pak Anton.
Awalnya pak Anton menolak karena tidak ingin merepotkan dirinya, namun Rahman
menyakinkan bahwa ia sudah biasa melakukan pekerjaan seperti ini di rumah. Pak
Anton pun terpaksa menurutinya.
Setelah
satu jam membantu pak Anton, Rahman pun memohon pamit kepada pak Anton. Pak
Anton memberikan Rahman upah atas bantuan yang ia lakukan. Awalnya Rahman
menolak karena merasa pak Anton sudah memberikan hal yang begitu berarti
melebihi uang yang ditawarkannya. Tetapi pak Anton malah akan merasa terhina jika
Rahman tidak menerima upahnya ini. Dengan senyum dan ucapan terima kasih,
Rahman menerima hadiah ini. Ia pun berencana membelikan sesuatu untuk ayah
ibunya sebagai simbol permintaan maaf.
Rahman
berjalan meninggalkan pak Anton dengan perasaan yang sangat berbeda ketika ia
pertama kali sampai di tempat itu. Begitu tenang dan nyaman hatinya. Sudah
terbang dibawa angin semua rasa kejengkelannya. Satu pengharapan Rahman, semoga
ayah dan ibunya mau memaafkan dirinya.
TAMAT
Salam hangat dari kami Bamz Production
0 komentar:
Posting Komentar