Diberdayakan oleh Blogger.

12 Februari 2013

Cintailah Episode 7


Matanya masih terpejam. Jiwanya terbang bebas ke alam mimpi. Entah petualangan apa yang sedang ia jalani dalam dunia itu. Melemparkan jiwanya kesana setidaknya bisa membuat hatinya lebih baik.

“Yogja-Yogja!” Teriak kondektur di bus itu.

Satu-Persatu penumpang mulai turun dari bus. ada beberapa yang masih sibuk menurunkan tasnya. Ada juga yang memilih untuk tidak beranjak dari tempat duduknya. Menunggu hingga keramaian didalam bus melayang.

“Mas Bangun. Sudah sampai Yogja!” Kondektur Bus menggoyang-goyangkan tubuh Doni. Berharap pria ini segera bangun.
Doni membuka matanya dengan perlahan. Ia menguap beberapa kali. Pandangannya jmasih begitu samar. Hanya tampak sekelebatan bayangan dari bola matanya.

“Sudah sampai ya mas?” Ucap Doni sambil mengucek kedua matanya.

“Iya mas.” Jawab Kondektur itu dengan ramah. Seuntai senyum tergurat dari sudut mulutnya.

Doni bangkit dari tempat duduknya. Melakukan sedikit olahraga untuk mengusir rasa kantuk. Dengan berjinjit-jinjit, Doni mengambil tasnya di tempat yang disediakan. Beberapa menit kemudian, tas itu sudah menempel kembali di punggungnya.

Dengan rasa kantuk yang masih menggelayuti tubuhnya, Doni meninggalkan Bus itu. Baru semenit ia menginjakkan kakinya, puluhan orang sudah mengelilinginya.


“Pergi kemana mas? taksi mas? ojek mas? becak mas?” Semua suara itu berkumpul menjadi gelombang yang memekikkan telinga. Sambil tersenyum Doni menolak semua tawaran itu.

Ia terus berjalan. Selangkah demi selangkah meniti jalanan di terminal itu. Butir-butir keringat mulai tampak di wajahnya. Matahari memang sedang tidak ingin bersahabat. Terus memancarkan sinarnya yang begitu panas ke arah Doni.

Sampai di bibir jalan, Doni menengok ke kanan dan kiri. Memastikan situasi aman sebelum melangkahkan kakinya. Sebelumnya ia memang sudah berencana untuk menaiki angkutan umum.

Tiba-tiba Doni mengurungnya niatnya untuk menyeberang. Tampak di pelupuk matanya seorang anak yang mengiba-iba. Beberapa preman hendak memalaknya. Dan tak tampak satupun orang yang mau menolongnya.

Tubuh Doni gemetaran di tempat. Berkali-kali tangannya meremas-remas tak jelas. Dan gemeretak giginya terdengar begitu keras. Ia begitu marah dengan dirinya sendiri. Hendak menolong anak tadi, namun terlalu kalah jumlah.

Begitu 4 orang preman tadi pergi, Doni segera menghampiri sang anak. Ia berlari sekuat tenaga tak peduli debu maupun kotoran yang memedaskan mata. Yang terpenting segera sampai disana.

Entah bisikan apa yang tiba-tiba mengaung-ngaung dalam hatinya. Doni sendiri tidak tahu. Yang ia tahu saat ini hanya berlari ke arah anak itu. Begitu dekat, ia baru sadar jika wajah pengamen kecil ini hampir mirip dengan adiknya.

“Sudah jangan menangis lagi.” Doni memegang pundak anak ini dengan lembut. Berharap ia tidak menangis lagi. Namun cara itu tidak berhasil rupanya.

“Menangis tidak akan menyelesaikan masalah dik. Uangmu tidak akan kembali walaupun kau menangis hingga kering air matamu.” Doni duduk begitu saja di trotoar ini. Tak peduli itu kotor atau bersih.

“Memangnya kakak siapa? apa hak kakak menasehatiku?” ucapan anak ini terdengar sangat kasar.

“Ini. Makanlah. Kau pasti lapar” Bukannya tersinggung Doni malah menyerahkan sebungkus roti miliknya.

“Apa ini? kakak pikir aku pengemis. Aku ini bukan pengemis yang patut dikasihani.”

“Aku tahu. Aku juga tidak mengatakan kau pengemis. Apa ya istilahnya? Eeehhm. Aku hanya ingin berbagi. mau tidak?” Doni kembali menyodorkan roti itu. Tanpa sepatah kata, anak itu langsung menyambut roti Doni.

“Oh iya. Siapa namamu?”

“Ahmad.” Jawabnya sambil terus melahap roti yang ada di tangannya. Air matanya pun sudah berhenti mengalir.

“Ahmad?” Hampir jantungnya berhenti berdetak karena kaget.

“Iya. Kenapa kakak kaget begitu. Ada yang salah?”

“Tidak-tidak. Hanya saja namamu begitu mirip dengan adikku.”

“Kakak juga punya adik?” Mimik wajahnya sudah mulai bersahabat.

“Iya.”

“Semoga adik kakak tidak mengalami nasib sepertiku.”

“Apa maksud perkataanmu?” Tanya Doni tidak paham.

“Tak ada apa-apa. Hanya berharap saja.” Jawabnya santai.

“Oke kak. Terima kasih karena telah menghiburku. Dan terima kasih juga untuk roti ini.” Ahmad berdiri dan langsung berjalan meninggalkan Doni.

“Tunggu!” Sergah Doni. Ahmad pun menghentikan langkahnya.

“Ada apa lagi kak? aku harus kembali bekerja. Kalau tidak nanti malam aku tak bisa makan.”

“Aku hanya masih penasaran dengan perkataanmu tadi. Untuk makan malam aku kutraktir nanti. Sekarang aku ingin mendengar ceritamu.”

“Heeem. Baiklah. Tapi lebih baik kita cari tempat yang lebih nyaman untuk berbicara.”

Doni bangkit dari tempat duduknya. Dengan perlahan ia mendekati Ahmad. Rasa penasaran yang membuncah dalam dada tak dapat Doni tahan. Bahkan ia sampai lupa apa tujuannya datang ke kota Gudeg ini.

Ditemani lalu lalang kendaraan dan hembusan angin, mereka berjalan menyisiri trotoar. Sepanjang perjalanan Doni melihat begitu banyak orang-orang yang menengadahkan tangannya. Meminta beberapa keping uang dari pengguna jalan yang ada. Tidak si Semarang, Tidak di Jogja sama saja. Profesi ini memang menjadi primadona orang-orang malas. Ucapnya dalam hati.

Mereka menghentikan langkahnya ketika sampai di depan bangunan suci. Tempat yang digunakan untuk beribadah kepada Rabb pencipta alam semesta. Mencurahkan segenap gundah dan lara pada-Nya. Memohon ampunan atas dosa-dosa yang membumbung tinggi hingga angkasa.

“Aku pikir kamu mau membawaku kemana, ternyata ke masjid.”

“Ini adalah tempat favoritku. Ketika disini aku serasa seperti di surga. Begitu nyaman rasanya.”

“Ayo kak kita masuk.” Seperti rumah sendiri, Ahmad masuk begitu saja. Doni mengikutinya dari belakang.

Sampai di pelataran masjid, Ahmad dan Doni langsung merebahkan tubuh mereka ke atas lantai. Hawa dingin langsung menyeruak ke tubuh mereka. Rupanya keramik ini cukup ampuh untuk mengusir kegerahan di tubuh.

Setelah merasa cukup segar, Doni bangun dari tidurnya. Ia segera menggeser tubuhnya ke arah tembok. Doni bersandar disana dan tubuhnya benar-benar terasa begitu nyaman. Tembok ini bak kursi pijat yang memberikan kenyamanan di tubuhnya.

“Sekarang jelaskan maksud dari perkataanmu tadi.”

“Ngomong-ngomong kenapa kakak begitu penasaran dengan kalimatku?” Tanya Ahmad penasaran.

“Karena mungkin ceritamu dapat mengubah masa depanku dan adikku.” Jawab Doni Serius.


Salam hangat dari kami Bamz Production

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blog Archive

Pengikut

Total Tayangan Halaman

Jadwal Shalat