Diberdayakan oleh Blogger.

7 Desember 2012

SECUIL CINTA UNTUK AYAH


Secuil Cinta Untuk Ayah

Malam mulai menyerang, menebar kegelapan di setiap penjuru dunia. Bintang-gemintang mulai kembali ke tempatnya. Berkilauan dengan  begitu cantik di langit sana. Bulan nan fitri mendampingi mereka dengan begitu anggunnya.

Aku masih terdiam di kamarku yang berukuran 3 x 4 meter ini. Ditemani dengan suara jangkrik yang bersahut-sahutan di luar sana. Ribuan nyamuk yang terus menyerangku tanpa ampun. Dan sebuah foto yang kugenggam dengan erat di tanganku.

Sambil kusandarkan tubuhku pada lemari, tak henti-hentinya mata ini terus mengalirkan air suci yang tak kunjung habis. Aku sudah mencoba sekuat tenaga untuk menghentikannya namun ku tetap tak bisa.

Ayah. Ayah. Tak henti-hentinya nama itu terlantun dari bibirku. Dan setiap kali nama itu kuucap, hatiku menjadi begitu remuk. Sakit sekali rasanya. Dan dari tadi terus seperti itu tanpa ada obat yang mampu menyembuhkan.

Nasi sudah menjadi bubur. Itulah ungkapan banyak orang untuk penyesalan. Sesuatu yang sudah terjadi tak mungkin bisa kembali seperti semula. Dan itu juga yang saat ini menimpa diriku. Dan penyesalan itu begitu tergambar di wajahku ini.


Berkali-kali aku mencubit pipiku, tanganku, kakiku, dan bagian tubuhku lainnya. Semua terasa sakit, berarti ini adalah kenyataan. Padahal aku benar-benar berharap bahwa ini hanyalah mimpi. Aku terus berusaha bangun dari tidurku dan berharap pagi yang indah datang menjemputku. Namun tak ada gunanya.  Aku masih berada di tempat yang sama.

Kuangkat foto yang tadi terus tergenggam erat di tangan. Perlahan demi perlahan kuhadapkan foto itu padaku. Tampak disana wajah ayahku yang begitu tampan dan gagah. Lengkap dengan senyuman yang membuat hatiku menjadi getir. Dan aku pun menangis lagi.

Benar kata orang, seseorang baru merasa orang itu penting baginya ketika ia sudah tak berada lagi disisinya. Dan itulah yang kurasakan saat ini, di tempat ini, dan sejak tadi pagi hingga sekarang.

Masih tergambar jelas semua peristiwa hari ini. Semua tampak berlalu begitu cepat. Sang waktu tak memberikan sedikitpun kesempatan padaku untuk duduk sejenak dan berpikir. Aku dipaksa terus melakukan hal-hal yang mengiris tubuh-tubuhku.

Pagi itu seperti biasanya aku bangun tepat pukul 04.30. Senandung Adzan dari para muadzin langsung menyapaku. Aku langkahkan kakiku dengan perlahan ke kamar mandi. Rasanya begitu berat, seperti ada yang menghalangiku untuk bergerak. Seperti ada yang menyuruhku untuk tetap menikmati tidurku hingga fajar merekah di ufuk timur lagi.

Hawa dingin langsung menggelanyuti tubuhku ketika aku mengambil wudhu. Namun anehnya malam air itu memberikan kesegaran untukku. Rasa kantuk dan capek yang tadi masih terus menemaniku, hilang begitu saja. Entah mereka lari kemana. Aku tak terlalu memikirkan.

Segera setelah itu, aku semprotkan minyak wangi ke seluruh bagian tubuhku. Bau yang harus langsung memenuhi ruangan itu, yang terkadang bau ini malah begitu dibenci oleh ibuku.

Aku segera berlari mengambil sarung dan baju muslimku, lalu memakainya. Aku langsung saja berlari secepat kilat ke masjid. Setelah mengucap salam kepada ibuku. Aku tak tahu apakah ibuku mendengar atau tidak yang penting aku bisa segera sampai ke masjid.

Iqamah telah mengaung-ngaung memecah kesunyian malam. Terkadang aku agak sebal dengan para muadzin itu, kenapa begitu cepat mengumandangkan iqamah, kenapa tidak .aku selalu terhipnotis melihat senyuman yang cantik itu.

***

Aku pulang dari masjid dengan penuh kebahagiaan. Hatiku begitu berbunga-bunga karena telah bertemu dengan yang kucinta. Walau aku pun tak tahu betapa besar rasa cintaku ini, tapi aku yakin aku mencintai Allah. Walau aku tak yakin apakah Allah adalah yang selalu aku nomer satukan, tapi aku ingin bertemu dengan-Nya kelak.

Aku sampai ke rumah. Namun senyuman yang tadi terus merekah di sudut mulutku, hilang begitu saja. Aku langsung mengerutkan keningku. Tak paham dengan apa yang aku lihat ini.

Aku berjalan mendekati kakak dan adikku yang menangis tersedu-sedu di ruang tamu. Dan dari ruangan ini pula aku bisa mendengar isakan tangis dari ibuku. Apa yang terjadi? sebenarnya ada apa ini? pertanyaan itu terus berputar-putar di kepalaku.

“Ada apa kak?” tanyaku perlahan setelah aku duduk di sampingnya.

“Ayah, dek. Ayah.” Jawab kakakku sambil sesenggukan.

“Ayah kenapa kak? Kenapa?” tanyaku mulai ketakutan.

Kakakku tak menjawab lagi. Ia bagaikan terkena bogem dari seorang petinju. Jatuh tersungkur begitu saja. Aku menjadi semakin kalut dan takut. Orang-orang di sekitarku langsung merubung ke arahku. Mereka bahu-membahu menyadarkan kakakku yang pingsan tak berdaya.

Begitu kakak ditangani, aku langsung menghambur ke dalam. Betapa takjubnya diriku, melihat ayah sudah terbalut kain kafan. Wajahnya yang ceria sudah menjadi kaku, tanpa ekspresi apapun. Hatiku seperti tertusuk belati rasanya. Begitu sakit dan perih. Air sungai yang memang sejak tadi sudah ingin mengalir, jatuh begitu saja dari pelupuk mataku.

Aku berjalan dengan gontai mendekati ayahku. Tampak di mataku, ibu yang terus menangis sambil memegang tangan ayah.

 “Ibu.” Ucapku pelan.

Ibu langsung menoleh ke arahku,  dan memelukku. “Ayahmu, Al. Ayahmu.” Kata ibuku dengan suara yang bergetar.

Aku mencoba menahan rasa sakit di hatiku. Aku mencoba bersikap bak seorang lelaki di keluarga ini. Aku harus tegar. Aku tak boleh menangis supaya bisa menjadi tempat bersandar untuk keluargaku. “Iya ibu. Aldi tahu. Ayah telah kembali ke Allah.” Ucapku tegar.

Setelah itu waktu seperti angin topan yang melanda. Begitu cepat rentetan peristiwa di depanku. Tratak didirikan, bendera kuning ditancapkan, warga-warga datang, ayahku dimandikan, dikafani, disalatkan, dan dimakamkan. Semua masih tak masuk akal dalam pikiranku.

Di kamarku yang berdiam diri, di malam yang sunyi. Aku mencoba berpikir tentang peristiwa yang menimpaku. Namun tak jua ada jawaban. “Allah. Kenapa? kenapa ini terjadi padaku? apa sebenarnya yang ingin kau tunjukkan padaku? apa jawaban dari semua peristiwa ini?” ucapku lirih.

“Ya Allah. Ya Tuhanku. Bukan aku tidak ikhlas untuk melepas ayahku. Aku tidak punya hak untuk melakukan itu. Kami semua milik-Mu, jadi engkau punya kebebasan untuk mengambil kami kapanku engkau mau. Tetapi kenapa begitu mendadak? paling tidak izinkan aku untuk meminta maaf kepadanya atas kesalahanku.” Ucapku lebih keras dengan air mata yang mengalir lebih deras.

Hari ini Allah telah membuka pikiranku. Bahwa hidup ini bisa berakhir kapan saja. Aku berharap masih bisa memberikan cinta kepada ayahku walau hanya secuil. Namun tak bisa. Nasi sudah terlanjur menjadi bubur. Mungkin sekarang yang bisa kulakukan adalah mencurahkan segala cintaku untuk ibu, kakak, dan adikku.



Salam hangat dari kami Bamz Production

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blog Archive

Pengikut

Total Tayangan Halaman

Jadwal Shalat