Diberdayakan oleh Blogger.

12 Februari 2013

Cintailah Episode 6


Matanya belum bisa terpejam. Berjam-jam Memandang atap-atap rumah  yang dari tadi hanya diam membisu. Jam telah menunjukkan pukul 03.00 pagi. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Yang tak mampu ia terjemahkan sendiri dalam goresan tinta.

Begitu sesak rasanya ketika ia mengambil nafas. Begitu berat terasa ketika ia ingin mengangkat bahunya. Seakan-akan seluruh beban di dunia ditimpakan di pundaknya. Ia coba katupkan kedua matanya, namun tak bisa jua. Seperti ada selotip yang menahan kedua penglihatannya ini.

Ia bangkit dari tempat perbaringannya. Matanya memandang dingin ke arah kertas yang tergeletak dengan rapi di atas meja. Ia ambil kertas itu dengan agak ragu dan dibacanya. Walau sebenarnya isinya sudah tersimpan dengan rapi di memory ingatannya.

Saudara Doni kami mengucapkan selamat kepada anda. Anda telah diterima di Fakultas Kedokteran UGM melalui jalur PMDK. Silahkan anda langsung mendaftar ulang di Universitas Gajah Mada pada hari senin tanggal 10 Agustus 2008.”

Doni letakkan kertas pemberitahuan itu. Ia duduk bersandar pada sebuah almari dengan begitu lesu. Hari yang tertera di kertas tadi akhirnya datang juga. Hari yang sebenarnya tak pernah diinginkan oleh Doni untuk hadir di kehidupannya.

Ia bangkit dari tempat duduknya. Berjalan dengan gontai meninggalkan kamarnya yang begitu nyaman. Selangkah demi selangkah ia ayunkan kakinya hingga menuju ke kamar adiknya.


Doni buka pintu kamar Ahmad. Ia intip apa yang sedang dilakukan adiknya ini. Ternyata ia masih tertidur. Doni hendak membangunkan adiknya untuk mengerjakan salat malam bersamanya. Namun ia tak tega. Wajah adiknya tampak begitu lelah. Ia biarkan adiknya ini untuk tetap berinteraksi dengan alam mimpinya.

Dengan sebuah sentuhan lembut, ia usap wajah adiknya ini. Terasa begitu halus di jemarinya. Ia pandang wajahnya dengan penuh cinta. Dan tanpa sadar  setetes air mata jatuh dari pelupuk matanya. Membasahi selimut yang menaungi tubuh adiknya ini.

Doni kembali berjalan meninggalkan kamar itu. Ia mulai lagi perjalanan hingga sampai di teras rumahnya. “Subhanallah.” Kata yang pertama keluar dari mulut Doni ketika menatap ke langit.

Bulan bersinar dengan begitu indahnya. Begitu bulat dan besar. Sedangkan di sekililingnya berkumpul awan-awan putih yang terkesan seperti sayap bulan. Dan bintang-bintang bertebaran dengan bebasnya. Berkelap-kelip seperti pecahan berlian yang terkena cahaya sang matahari.

“Ayah-Ibu? sedang apa kalian di alam sana?apakah kalian bahagia?” ucap Doni sambil terus memandang ke langit.

“Ayah-Ibu? aku begitu rindu dengan kalian. Begitu ingin rasanya kepala ini dibelai lagi oleh kalian. Ayah-Ibu? bolehkan aku bercerita?”

“Hari ini aku benar-benar bingung bagaimana harus bersikap. Esok aku harus mendaftarkan diriku. Dan jika itu aku lakukan berarti aku sudah resmi menjadi mahasiswa kedokteran Universitas Gajah Mada. Tetapi aku benar-benar tidak bisa meninggalkan adik sendirian.”

“Ayah-Ibu aku harus bagaimana? adik terus memaksaku untuk mengambil kesempatan ini. Tapi jika nanti Ahmad tumbuh menjadi anak yang tidak benar, bagaimana aku bisa menghadapkan wajahku ini kepada kalian? Ibuuuuuuuuuu. Aku butuh nasihatmu.” Suasana yang tadi begitu sepi, kini mulai terhiasi dengan isak tangis Doni. Air mata mulai mengucur dari kedua pelupuk matanya.

Andi terus menangis dengan terisak-isak. Bulan dan Bintang seperti tidak kuat menahan jeritan hati ini. Mereka mulai bersembunyi di balik awan hitam yang muncul tiba-tiba. Gemelegar bunyi guntur mulai terdengar di angkasa. Dan lama-lama langit tak mampu juga membendung air sucinya.

Dibawah guyuran hujan yang deras ini, Doni mengeluarkan segala beban yang ada di dalam dirinya. Lewat aliran air matanya, ia ingin beban itu ikut hanyut. Terbuang dari dasar hatinya. Sehingga yang ada hanya kemantapan untuk mengambil sikap. Tak ada lagi secuil rasa ragu di dalam dirinya.

Ploook. Sebuah tangan menempel di pundaknya. Doni segera mengarahkan pandanganya. Sesosok makhluk kecil dengan senyum di bibirnya berdiri di depannya. Dan dengan tangannya yang halus ia hapus air mata milik Doni.
“Sudah aku bilang kak. Aku tak ingin lagi melihat air mata jatuh di depan mataku. Aku tak ingin lagi ada kesedihan.” Ucap Ahmad dengan begitu lembut.

“Kenapa kamu terbangun dik? apa karena suara tangisanku? atau karena hujan ini?” tanya Doni. Masih terdengar isak tangis dari dirinya.

“Bagaimana mungkin aku bisa tidur dengan nyenyak, jika ada seorang kakak menangis ketika aku tidur. Bagaimana mana mimpiku bisa indah, jika ada seorang kakak yang mengamati tidurku dengan linangan air mata di kedua pipinya.” Ahmad terus mengusap air mata Doni yang tak kunjung berhenti.

“Ayo kak masuk. Besok kakak harus ke Jogja. Jangan sampai kakak sakit.” ucap Ahmad lagi.

“Biarkan kakak disini dulu dik. Kakak ingin mengeluarkan segala beban yang ada di tubuh ini.”

“Hahaha.” Ahmat tertawa kecil.

“Kakak ini lucu. Kalau ingin menghilangkan masalah itu sama Allah. Lebih baik kita salat sama-sama. Dan saat itu kakak bisa mengeluarkan segala beban kakak. Hujan tak akan membantu kak.” Kali ini senyuman yang begitu indah ia hadiahkan kepada kakaknya. Doni hanya bisa terperanga melihat perkataan adiknya ini.

“Kak! kok malah bengong. Ayo.” Ahmad menarik tangan kakaknya.

“Iya-iya dek.”
***
Di pinggir jalan Maksum, Doni, Ahmad, dan Firman berdiri menunggu kedatang bus Semarang-Jogja. Mereka bersenda gurau dengan begitu riangnya. Seperti sudah tak ada beban yang bersemayam di hati Doni.

Dan Ahmad juga sudah begitu ikhlas menerima kepergian kakaknya ini. Ia tak takut ataupun risau akan kehidupannya kedepan. Ia percaya Allah SWT akan selalu menjaganya.

10 menit kemudian Bus besar dengan taburan warna hijau berhenti  di jalan itu. “Jogja-Jogja.” Teriak salah satu assisten supir. Beberapa orang mulai naik ke dalamnya. Bahkan ada yang berlari karena takut tak dapat tempat duduk.
“Tolong ya Man jaga adikku.” Ucap Doni sambil memeluk sahabatnya ini.

“Tenang aja bro. Kamu fokus kuliah saja. Aku akan menjaga adikmu dengan baik.”Balas Firman sambil menepuk bahu Doni. Setelah itu Doni melepaskan pelukannya. Dan ia memandang adiknya dengan penuh kasih sayang.

“Jaga dirimu ya dik. Jangan nakal. Buat ayah dan ibu bangga. Kamu harus jadi juara kelas.” Ucap Doni. Setetes air mata lagi-lagi keluar. Meluncur begitu saja ke atas tanah.

“Iya kak. Ahmad janji akan jadi yang terbaik. Kakak juga harus menjadi dokter nomer satu di UGM sana.” Kali Ahmad benar-benar tak mampu membendung kesedihannya. Akhirnya sungai di matanya membludak juga.

“Jangan menangis dik. Bukannya sudah tak ingin melihat air mata lagi.” Doni menghapus aliran air di pipi adiknya ini.
“Kakak juga menangis.” Balas Ahmad.

“Ayo Don. Busnya sudah mau berangkat nih.” Firman menepuk pundah Doni.

“Iya Man. Sebentar lagi.” Jawab Doni tanpa menoleh ke arah temannya ini. Ia fokus memperhatikan wajah adiknya.

“Kakak mencintaimu dik. Untuk selamanya kakak akan selalu mencintaimu.” Doni memeluk adik yang begitu dicintainya ini.

“Ahmad juga mencintai kakak. Untuk selamanya akan tetap seperti itu.” Ia peluk kakaknya ini dengan begitu erat.

Doni melepaskan pelukannya. Tiba-tiba kakinya terasa begitu berat untuk melangkah. Seperti membeku begitu saja. Tetapi ia tak mau mengecewakan adiknya ini. Ia hancurkan es-es yang menyelimuti kakinya. Dan ia melangkah dengan mantab ke dalam bus.

Bus mulai berjalan dengan pelan. Dari balik kaca tempat duduknya, Doni terus memandang wajah adiknya untuk terakhir kali. Ahmad memberikan senyumannya yang paling indah dan lambaian tangannya kepada Doni sebagai hadiah perpisahan.
Bus semakin menjauh. Wajah Ahmad dan Firman pun mulai memudar dan lambat laun menjadi hilang. Doni berdoa di dalam supaya Allah menjada dia dan adiknya. Dan Doni siap untuk menyambut masa depannya ini.

“Aku akan menjadi dokter terbaik.” Ucap Doni dalam hati.


Salam hangat dari kami Bamz Production

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blog Archive

Pengikut

Total Tayangan Halaman

Jadwal Shalat