Diberdayakan oleh Blogger.

11 Desember 2012

Semangat Tukang Sol Sepatu



Matahari sedang bersinar dengan teriknya. Menyengat kulit manusia yang berjalan di bawahnya. Debu-debu yang diterbangkan oleh angin menjadikan penglihatan menjadi tidak nyaman. Asap-asap kendaraan membuat pernafasan menjadi sesak. Lengkaplah hari ini menjadi sebuah kondisi yang tidak nyaman untuk dilalui.
Seorang pemuda keluar dari rumahnya dengan wajah begitu marah. Dari mulutnya terus keluar kata-kata yang tidak layak diucapkan. Sementara di belakangnya ada pasangan suami istri yang memandang kepergiannya dengan kesedihan yang sangat. Wajah mereka sudah nampak berkerut, bahkan sang suami sudah mulai beruban. Tampak rasa kecewa di wajah keduanya. Bahkan sang istri terus memegangi dadanya menahan rasa sakit di hatinya. Air mata mengalir deras di pipinya.
Abdul Rahman adalah nama pemuda itu. Pemuda yang diharapkan orang tuanya menjadi seorang hamba yang penyayang. Mengasihi sesama manusia dan makhluk hidup lainnya. Namun sifat yang diharapkan itu tidak melekat pada dirinya. Ia baru saja dengan tega menyakiti hati kedua orang tuanya. Masalahnya sepele. Ia meminta dibelikan motor baru, namun orang tuanya tak sanggup memenuhi keinginannya. Ayahnya hanya seorang buruh kebun, sedangkan ibunya menjajakan gorengan setiap harinya.  Untuk menyekolahkan Rahman sampai SMA saja mereka sudah mati-matian. Kerja tak kenal lelah dari pagi hingga malam supaya anaknya tidak mengalami nasib sama seperti mereka.

 Belum pernah hati sang ibu tersakiti seperti saat ini. Bagai ditusuk ribuan bilah pedang rasanya. Dengan tega Rahman mengatakan bahwa dirinya menyesal dilahirkan dari rahimnya. Bahkan kalau bisa, ia ingin mati saja. Dirinya sudah lelah terus hidup dalam kemiskinan. Berkumpul bersama keluarga yang tidak bisa menuruti apa yang diinginkannya. Ibunya hanya bisa menangis saja mendengar kata-kata anaknya ini. Padahal Jika ia mengucap do’a kepada Allah untuk menghukum sang anak, Rahman mungkin sudah diadzab dengan sangat pedih karena kedurhakaannya.
***
Rahman berjalan cukup jauh meninggalkan rumahnya. Tak ia pikirkan apa yang akan terjadi pada kedua orang tuanya. Rasa sayang dan baktinya selama ini sudah tertutupi oleh kejengkelan yang dalam. Kebaikan orang tuanya selama ini telah hilang tersapu oleh nafsu dunia yang membutakan.
Lelah berjalan, Rahman mengistirahatkan tubuhnya sejenak. Ia duduk di depan toko yang masih tutup. Angin segar langsung menyapanya. Angin ini cukup manjur menentramkan hatinya yang sedang marah. Ia amati daerah sekitarnya, tampak beberapa orang sedang menjajakan jualannya di pinggir jalan. Ada juga sepasang muda-mudi yang baru keluar dari mobilnya. “Ah mereka pasti sepasang kekasih. Enak sekali kalau bisa punya mobil. Kalau aku tidak dilahirkan dari kedua orang tua yang tidak berguna itu, kalau orang tuaku kaya raya, pasti aku sudah punya fasilitas sebagus itu.” Arman bergumam di dalam hatinya. Ia amati lagi sekelilingnya. Kali ini ia lihat seorang tukang sol sepatu. Entah kenapa Rahman merasa pemandangannya jadi terganggu. Tukang sol sepatu itu mengingatkan pada orang tuanya yang membuatnya jengkel setengah mati. Terbersit sebuah pikiran untuk melampiaskan kemarahannya pada tukang sol sepatu itu.
Rahman berjalan mendekati tukang sol sepatu ini dengan wajah merah padam. Tanpa alasan apapun ia hendak menghajar tukang sol sepatu itu. Yang ia anggap sebagai sampah di sebuah taman yang indah. Sampah itu harus dibuang menurutnya. Ia tidak takut kalau harus berkelahi dengannya. Yang penting rasa marahnya bisa tersalurkan
Ia berjalan semakin dekat. Hampir saja ia meludah ke arah tukang sol sepatu itu. Namun ada pemandangan yang membuat rasa marahnya runtuh begitu saja tergantikan rasa iba yang mendalam. tukang sol sepatu itu hanya memiliki satu buah kaki.
Tanpa diminta siapapun Rahman langsung duduk disamping tukang sol sepatu itu. Dalam matanya tukang sol sepatu ini sudah begitu tua. Mungkin seumuran dengan ayahnya. Wajahnya tampak begitu lelah, namun ia begitu menikmati pekerjaannya. Tidak terbesit sedikitpun rasa menyesali keadaan pada dirinya.
“Mau benerin seepatu dek?” Tanya tukang sol sepatu itu. Ia hadiahkan senyum kepada Rahman.
Rahman hanya menggeleng. Tidak menjawab satu kata pun.
“Nama bapak siapa?” Tanya Rahman. Ia mulai membuka mulutnya.
“Anton dek.” Jawab pak Anton dengan sopan. Tangannya begitu terampil menjahit sepatu yang sudah koyak.
“Bapak sudah lama kerja seperti ini?”Tanya Rahman lagi. Kali ini ia mulai bisa menghilangkan rasa marahnya.
“Sudah dek.” Jawab pak Anton lagi. Ia letakkan sepatu yang sudah diperbaiki dan mengambil lagi yang masih koyak.
“Bapak tidak protes kepada Allah karena diberi hidup seperti ini?” Rahman bertanya kembali. Sesekali ia lirik kondisi kaki pak Anton.
Bapak itu mengerutkan wajahnya. Ia tampak kaget dengan pertanyaan Rahman. Bapak ini diam sebentar. Ia tahu ada yang salah dari anak muda ini. Dan sebagai orang yang lebih tua, pak Anton mempunyai kewajiban untuk menyadarkan pemuda ini.
“Anak muda? hati-hati kalau bicara. Sebaiknya pertama kamu memohon ampun kepada Allah dulu atas perkataanmu.” Saran pak Anton. Kali ini pandangannya serius menatap wajah Rahman.
“Untuk apa bapak protes kepada Allah sementara bapak masih diberi banyak nikmat seperti ini.” Pak anton melanjutkan perkataannya.
Rahman terhenyak mendengar jawaban pak Rahman. Kata nikmat yang diucapkan kepadanya menjadi sebuah tamparan untuk dirinya. Namun hal itu belum cukup untuk menyadarkannya.
“Pak saya mohon maaf dulu sebelumnya.” Rahman memohon maaf dulu atas pertanyaannya agar pak Anton tidak tersinggung.
“Iya dek.” Jawab pak Anton singkat. Sepertinya ia sudah tahu arah pembicaraan Rahman.
“Kenapa kaki bapak seperti itu?” Rahman bertanya seperti seorang detektif yang ingin memecahkan sebuah kasus.
“Kaki bapak diamputasi dek. Dulu ada virus di kaki bapak. Kalau tidak diamputasi virus itu akan menyebar ke seluruh tubuh dan bisa membahayan nyawa bapak.” Pak Anton menceritakan kejadian yang menimpanya. Ia tersenyum karena tebakannya benar. Anak muda ini akan menanyakan kondisi kakinya. Rahman begitu serius mendengarkan.
“Bapak masih bersyukur kepada Allah atas musibah ini?” tanya Rahman lagi. Ia ingin tahu lebih dalam tentang pribadi pak Anton.
“Jujur awalnya bapak begitu marah dan kecewa ketika mendengar hal ini. Cobaan ini menurut bapak sudah diluar kemampuan.” Pak Anton menghentikan penjelasannya. Ia letakkan dulu sepatu yang dari tadi dipegangnya. Rahman tersenyum sinis. Ternyata bapak ini juga pernah melakukan hal yang sama seperti dirinya. Kecewa atas takdir dari tuhan-Nya.
“Tetapi bapak sadar masih banyak nikmat yang diberikan Allah kepada bapak. kamu juga bisa lihat kan bapak masih bisa bekerja dengan keterbatasan yang bapak punya. Sementara ada orang yang bahkan tidak bisa pergi kemana-mana. Bapak juga masih bisa menghirup oksigen secara gratis. Padahal banyak orang yang harus membayar untuk menghirup oksigen ini. Bapak juga masih sehat, masih bisa melihat keindahan yang diciptakan oleh Allah di bumi ini. Sementara banyak orang yang harus menjadi pesakitan di rumah sakit. Mereka hanya bisa tidur tanpa melakukan apapun. Allah masih begitu sayang kepada bapak. Jadi apakah pantas jika bapak protes kepada Allah atas kondisi ini? sementara Allah masih begitu memberikan nikmat yang banyak untuk bapak. ” Pak Anton kembali melanjutkan perkataannya. Menjelaskan kepada Rahman tentang arti dari mensyukuri nikmat Allah. Ia harap anak muda ini bisa menyadari kesalahannya. Pandangannya lurus menatap kedepan. Mengamati kegiatan orang-orang di jalanan.
Kata demi kata yang keluar dari pak Anton  kembali menjadi tamparan keras untuk dirinya. Memaksanya untuk sadar diri. Betapa banyak nikmat yang sudah diberikan sang Illahi untuknya. Betapa banyak pengorbanan yang dilakukan oleh orang tuanya selama ini.
Nanar di matanya sudah mulai nampak. Tinggal menghitung waktu saja agar sungai itu membanjiri wajahnya. Namun masih ada secuil batu hitam di hatinya yang masih membuat Rahman tidak bisa menerima kondisinya.
“Kenapa Pak Anton masih bekerja? mana anak-anak bapak? kenapa bukan mereka saja yang bekerja? dan kalau memang harus bekerja kenapa tidak mengemis saja pak? dengan kondisi bapak yang seperti ini kan bisnis seperti itu lebih menjanjikan.” Rahman langsung memberondong pak Anton dengan pertanyaannya. Seperti ingin segera ia habiskan daftar pertanyaan yang tersusun di otaknya.
“Bapak sudah tidak punya keluarga nak. Anak dan istri bapak pergi meninggalkan bapak 3 tahun yang lalu saat mengetahui bapak akan menjadi cacat. Mereka pergi begitu saja tanpa mengasihani bapak.” Jawab pak Anton dengan halus. Ia kembali mengambil satu sepatu yang belum selesai dijahit. Sama sekali tak ada kebencian di wajahnya.
“Terus bapak tetap bisa menerima keadaan itu?” Rahman begitu heran dengan bapak ini. Padahal kakinya tinggal satu dan semua keluarganya pergi entah kemana tetapi ia masih tetap saja bisa bersyukur.
“Ini semua sudah menjadi rencana Allah dek. Dan bapak yakin rencana ini akan baik untuk bapak. Karena sebenarnya Allah itu tahu apa yang lebih baik untuk kita, hanya saja  hawa nafsu telah menyilaukan mata kita akan kebenaran ini. Sehingga mereka selalu protes jika keinginannya tidak terpenuhi.” Pak anton begitu jelas menjawab pertanyaan Rahman. Terkadang ia menemukan kesulitan untuk menusukkan jarum ke sepatu.
Kali ini jebol sudah bendungan yang menahan air di mata Rahman. Meluncur dengan begitu deras menyapu semua pori-pori yang ada di kulitnya. Langit yang sempat gelap kembali menjadi cerah. Seolah memperlihatkan hati Rahman yang sudah mulai terang. Angin pun kembali mengalir dengan lembut seolah ikut hanyut dalam peristiwa ini.
“Dan untuk mengemis, bapak paling benci hal itu. Karena pekerjaan itu hanya untuk orang-orang malas saja. Orang-orang seperti itu yang seharusnya dikasihani. Orang-orang yang dikaruniai kelengkapan tubuh tetapi memilih melakukan pekerjaan rendahan. Bapak lebih senang melakukan pekerjaan ini. Karena pekerjaan inilah bapak merasa lebih terhormat dan diperlakukan seperti manusia normal.” Pak Anton mengakhiri kata-katanya. Pekerjaannya pun sudah selesai. Sepasang sepatu yang koyak sudah berubah menjadi baru kembali. Tampak wajahnya begitu puas dan bangga.
Rahman tidak mampu lagi untuk berkata-kata. Badannya benar-benar lemas. Ia sandarkan punggungnya yang terasa begitu berat. Air mata terus mengalir deras di wajahnya. Jutaan penyesalan muncul dalam hatinya. Ia ingin segera berlari menemui ibu dan ayahnya. Bersujud sambil meminta maaf kepada mereka.
“Nak? bapak tahu kamu pasti baru saja berbuat salah. Sekarang bapak yakin kau sudah menyadarinya. Air matamu itu sudah mencerminkan penyesalan dalam dirimu. Yang sekarang harus kau lakukan adalah kau meminta maaf kepada orang yang telah kau sakiti. Ingatlah masih banyak hal yang bisa kau syukuri daripada memikirkan hal yang belum kau punyai. Ketika kau kembali mengkufuri nikmat-Nya, ingatlah bapak. Orang yang hanya punya satu kaki dan dicampakkan semua anggota keluarga tetapi masih bisa tersenyum dan masih bisa mendapatkan rezeki dari-Nya. Dengan begitu kau akan kembali bersyukur karena kau masih memiliki anggota tubuh yang lengkap dan keluarga yang masih sayang padamu.” Pak Anton kembali menasehati Rahman. Dia berharap Rahman tersadar. Sedangkan Rahman hanya bisa mendengarkan sambil terus menangis.
Untuk sesaat tidak ada lagi percakapan di antara mereka. Rahman masih saja terus menangis. Ia hadapkan wajahnya ke langit membayangkan ayah ibunya. Entah apakah ia benar-benar akan siap jika kedua orang tuanya ini pergi untuk selamanya. Ia benar-benar ingin pulang untuk meminta maaf tetapi kakinya masih terasa lemas karena telah berjalan jauh.
 Sedangkan pak Anton asyik meneguk air putih dari botolnya. Sesekali ia kibas-kibaskan kerah bajunya untuk mengusir rasa gerah yang menyelimuti kulitnya. Orang-orang yang lalu lalang tak jarang berhenti untuk melihat kondisi ini. Bahkan ada yang bertanya kenapa Rahman bisa menangis. Pak Anton dengan senyumnya menjawab, “Pemuda ini sedang menyesali kesalahannya.”
“Terima kasih pak. Bapak sudah memberi pelajaran begitu banyak untuk saya. Sekarang saya sadar bahwa masih banyak nikmat yang harus saya syukuri.” Rahman mulai berbicara lagi. Air matanya sudah berhenti mengalir. Namun bekas aliran itu masih tampak di pipinya.
“Iya nak. Kita memang harus mensyukuri hidup kita, karena masih banyak orang yang kurang beruntung di bawah kita. Contohnya kamu. Kamu pasti bersyukur karena punya 2 kaki, daripada bapak yang hanya punya 1 kaki. Sedangkan bapak juga masih bisa bersyukur karena masih punya 1 kaki yang bisa digunakan untuk berjalan sedangkan bapak jamin di belahan bumi ini masih ada orang yang sama sekali tidak bisa berjalan. Itulah nikmatnya syukur nak.” Pak Anton kembali memberikan pelajaran kepada Rahman. Rahman hanya mengangguk-angguk saja tanda paham.
Hari ini Rahman begitu bahagia karena telah bertemu dengan seorang tukang sol sepatu yang menurutnya sangat luar biasa. Di tengah keterbatasannya, bapak ini masih mampu mensyukuri nikmat-Nya. Sedangkan ia yang masih dikaruniai kesempurnaan malah selalu menuntut apa yang tidak bisa diberikan orang tuanya. Padahal selama ini sudah banyak pengorbanan yang dilakukan orang tuanya. Termasuk menyekolahkannya sampai SMA.
Rahman begitu berterima kasih kepada Allah. Ia yakin Allah lah yang telah menuntun langkahnya hingga ke tempat ini. Hingga dirinya bisa belajar langsung arti mensyukuri nikmat dari pak Anton. Di kemudian hari ia berjanji tak akan ada lagi air mata dari kedua orang tuanya. Yang ada hanya sebuah senyuman kebanggaan di wajah mereka.
Sambil menunggu tenaganya kembali, Rahman menawarkan bantuannya kepada pak Anton. Awalnya pak Anton menolak karena tidak ingin merepotkan dirinya, namun Rahman menyakinkan bahwa ia sudah biasa melakukan pekerjaan seperti ini di rumah. Pak Anton pun terpaksa menurutinya.
Setelah satu jam membantu pak Anton, Rahman pun memohon pamit kepada pak Anton. Pak Anton memberikan Rahman upah atas bantuan yang ia lakukan. Awalnya Rahman menolak karena merasa pak Anton sudah memberikan hal yang begitu berarti melebihi uang yang ditawarkannya. Tetapi pak Anton malah akan merasa terhina jika Rahman tidak menerima upahnya ini. Dengan senyum dan ucapan terima kasih, Rahman menerima hadiah ini. Ia pun berencana membelikan sesuatu untuk ayah ibunya sebagai simbol permintaan maaf.
Rahman berjalan meninggalkan pak Anton dengan perasaan yang sangat berbeda ketika ia pertama kali sampai di tempat itu. Begitu tenang dan nyaman hatinya. Sudah terbang dibawa angin semua rasa kejengkelannya. Satu pengharapan Rahman, semoga ayah dan ibunya mau memaafkan dirinya.

TAMAT


Salam hangat dari kami Bamz Production

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blog Archive

Pengikut

Total Tayangan Halaman

Jadwal Shalat