Sudah
hampir 15 menit kucoba memejamkan mataku. Tapi tetap saja ia tak mau menurut.
Mata ini terus terbuka dengan tatapan kosong mengamati atap-atap rumahku. Aku
ambil handphone yang tergeletak di
meja dekat kasurku. Kucoba melihat waktu yang tertera disana.
Ternyata pukul 03.00 pagi.
Ini waktu yang mujarab
untuk berdoa. Setiap hamba yang beribadah pada waktu ini lalu berdoa, pasti
akan dikabulkan oleh sang pemilik dunia. Pikirku. Tapi
aneh, pikiran itu tak cukup kuat untuk
mengangkat tubuhku. Tubuh ini sama sekali tak mau aku gerakkan untuk
meninggalkan kasurku.
Aku
juga merasakan beberapa bulan ini ada penurunan dalam ibadahku. Aku sudah
jarang melaksanakan ibadah-ibadah sunah. Dan wajibku terkadang juga tercecer begitu saja. Seperti ada yang hilang dalam diriku.
Sehingga sama sekali tak ada kenikmatan ketika aku beribadah. Rasanya
benar-benar hampa dan akhirnya hanya kejenuhan yang menemaniku.
Ibarat
seorang pelaut yang kehilangan bintangnya, aku seperti terombang-ambing di
tengah lautan dan tak tahu kemana tempat yang kutuju. Aku mencoba mencari
petunjuk dan jawaban tentang dilema yang menyerang diriku, namun hingga saat
ini tak kutemukan.
Sambil
meringkuk dan memeluk lututku, aku edarkan pandangan ke lemari kamarku. Tampak
jelas di bola mataku yang hitam ini, foto-foto teman-temanku saat SMA. Dan
jiwaku seperti tertarik untuk kembali ke masa lalu.
2
Tahun yang lalu saat seragam putih abu-abu masih melekat di tubuhku, adalah
sebuah massa yang paling indah untukku. Selain mempunyai teman-teman yang
menyejukkan hati, aku juga mendapatkan kenikmatan dalam ibadahku.
Bersama
teman-teman Rohis, aku begitu dekat dengan Rabb-ku. Aneh memang saat itu.
Disaat teman-temanku yang lain tengah asyik dengan berpergian ke Mall, menonton
bioskop, melakukan hal-hal yang menyenangkan, justru aku sibuk untuk
menyelenggarakan kegiatan-kegiatan islami, yang justu dianggap hal yang membosankan
dan tidak menarik oleh banyak orang. Tapi anehnya aku malah menyukai hal itu.
Aku
ingat betul saat salah seorang sahabatku menasehatiku. Kejadian saat itu terekam
jelas di otakku. Dari mimik wajahnya yang begitu meremehkan kesibukanku dan dari
kata-katanya yang sangat jelas menyindir organisasiku.
Ia
berkata begini, “Hai, Ali! Sebenarnya apa yang kau cari di organisasi itu? kau
ini tampan, jago bernyanyi, dan pandai bermain basket. Kaya pula. Semua
perempuan di dunia ini menginginkanmu. Kau begitu dipuja. Tapi aneh kau justru
meninggalkan semua keindahan itu dan memilih menyeburkan diri ke kumpulan
orang-orang yang kaku, tidak gaul, dan aneh.”
Saat
itu hatiku benar-benar panas. Ingin aku ledakkan bara api yang menyelimuti
jiwaku ke arahnya. Ingin aku berikan ucapan-ucapan tajam yang menyakiti
hatinya, dan ingin aku hadiahkan sebuah bokeman manis ke wajahnya. Namun semua
hal itu tak jadi aku lakukan.
Tiba-tiba
mulutku seperti tergerak sendiri. Dan dari dalam sana mengalir alunan kata yang
begitu bijaksana. “Denas.” Ucapku dengan senyum. “Terima kasih untuk nasehatmu.
Tetapi asal kau tahu bahwa teman-temanku tidak seperti yang kau pikirkan.
Mereka tidak kaku, mereka juga gaul, dan yang terpenting mereka itu baik dan
mengajakku untuk bisa lebih mengenal Tuhanku.
“Ah
kau ini sudah terhipnotis oleh omongan mereka, jadi kau tak kan bisa melihat
kebenaran. Kau tak bisa melihat keindahan dunia di depan matamu.” Ucap Denas
sambil meninggalkan diriku.
Aku
hanya tersenyum. Dan memandang kepergian teman kecilku ini dengan tatapan
kasihan. “Hatimu yang sudah terlalu gelap kawanku. Sehingga cahaya keimanan tak
bisa menembus ke sanubarimu.” Ucapku pelan.
Semasa
SMA aku seperti menapakkan kaki di Surga. Segala bentuk dosa bisa aku netralisir sekecil mungkin. Ini semua berkat
dukungan kawan-kawanku di Rohis yang selalu mengingatkanku. Mereka semua tampak
seperti cahaya dalam kegelapan untukku.
Walau
aku harus membayar dengan mahal untuk
kenyamanan saat itu, aku tak menyesal. Ketenaranku semakin meredup dan tak ada lagi teriakan-teriakan yang
mengelu-elukan namaku. Tak ada lagi kado-kado yang mampir ke laci mejaku. Tak
ada lagi wanita-wanita cantik yang mengelilingiku. Semua hilang tanpa bekas.
Tetapi
penyesalan itu justru datang menemuiku saat ini. Di kamarku tempat aku berdiam
diri. Sebersit pikiran mulai menggelanyuti otakku.
Ali, betapa bodohnya
dirimu karna telah melepaskan semua kejayaan dan ketenaran hanya untuk
bergabung dengan ekstra Rohis. Hanya untuk keinginan yang datang secara tak
sengaja di relung kalbumu. Sekarang apa yang kau dapat setelah kau bersusah
payah untuk berdakwah? dimana teman-temanmu yang dulu selalu menyemangati dan
mengingatkanmu. Mereka telah pergi meninggalkanmu. Kata-kata
itu terus menyesaki otakku. Membuat diriku ingin berteriak sekeras-kerasnya.
Kembali
kulirik Hp-ku. Tidak ada pesan yang bertandang
disana. Kosong. Padahal selama SMA Hpku ini selalu berdering pada jam-jam
segini. Calling Tahajud. Akhi Ali, ayo
bangun. Kita sama-sama hadapkan wajah ini kepada Allah. Jangan biarkan
setan-setan tertawa melihat kita asyik tertidur ketika Sang Penguasa Dunia
mendekat ke bumi. Ayo kita hajar mereka dengan air wudhu yang menyegarkan jiwa.
SMS-SMS dari teman-temanku Rohis yang begitu aku rindukan.
Benarkah aku telah
melakukan hal yang sia-sia saat itu? apakah omongan Denas memang benar, kalau
aku tak bisa melihat kebenaran yang nyata karena sudah termakan omongan
teman-teman Rohisku. Tidak-tidak. Kalau jalanku salah, tidak mungkin aku betah
bertahan hampir 3 tahun di organisasi dakwah itu.
Kalimat-kalimat aneh kembali hadir di otakku. Membuatku semakin pusing dan
ingin memecahkan kepala ini.
Sekuat
tenaga aku mencoba bangkit dari tidurku. Daripada aku terus didatangi
pertanyaan-pertanyaan aneh, lebih baik aku melihat langit dini hari. Aku keluar
ditemani oleh Hp-ku. Sahabatku yang
paling setia dan tak pernah pergi dari sisiku baik aku sedang sedih maupun
sedang senang.
Ku
berjalan dengan perlahan meninggalkan kamar. Kuamati keadaan sekiling. Tak ada
kehidupan sama sekali. Aku yakin semua keluargaku masih terbuai dengan mimpinya
masing-masing. Memang selama ini hanya aku yang selalu bangun tengah malam.
Kubuka
pintu yang menghubungkan dengan teras rumahku yang ada di lantai 2. Begitu
pintu terbuka, semilir angin langsung menyambutku. Membelai setiap jengkal
kulit tubuhku. Begitu lembut dan syahdu.
Kuamati
dengan seksama langit dini hari ini. Begitu indah dan mampu membuat mataku berbinar.
Bintang-bintang tampak begitu berkilauan di mataku. Bak pecahan-pecahan berlian
yang tersebar si seluruh penjuru langit. Bulan tampak begitu anggun di atas
sana. Seperti pemimpin bagi jutaan para bintang.
Mendalami
ayat-ayat kauni, membuat jiwaku
menjadi lebih tenang. Pemandangan surga ini mampu mengusir
pertanyaan-pertanyaan yang terus menganggu diriku. Bintang gemintang yang
begitu terang. Bulan yang tampak begitu fitri,
lengkap dengan selimut awannya. Dan suara desau angin yang seolah berbisik
di telingaku.
Aku
seperti melayang. Ikut terbang bersama hembusan angin yang menyapu tubuhku.
Seolah diriku terangkat hingga ke angkasa. Dan dari atas sana aku bisa melihat
isi dunia yang benar-benar luar biasa. Yang tak kan ada seorang pengarang pun
yang mampu menuangkannya dalam tulisan, dan tak ada seorang pelukis pun yang
mampu menuangkannya dalam lukisan.
Hp
di tanganku bergetar. Membuyarkan segala halusinasi yang tadi sempat menerpaku.
Aku agak ragu untuk melihatnya. “Siapa yang sms malam-malam seperti ini?”
Ucapku sendiri. Aku coba lihat siapa pengirimnya. Ternyata SMS dari Adib, ketua rohisku saat SMA. “Tumben dia sms aku.” Ucapku
datar.
Hai orang-orang yang
beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya dia akan menolongmu dan
meneguhkan kedudukanmu. “Muhammad ayat 7.” Ucapku pelan.
Aku pun melanjutkan untuk membaca lagi.
Teman-temanku Rohis
yang sangat aku cintai. Aku tak kan pernah menyebut kalian alumni Rohis ataupun
mantan Rohis, karena selamanya kita adalah anggota Rohis. Kita adalah
pionir-pionir Allah untuk memperjuangkan agama ini. Mungkin sekarang kita semua
terpisah di tempat masing-masing. Mungkin kita juga merasakan kejenuhan yang
luar biasa. Mungkin kita kehilangan cahaya yang sering berasal dari teman-teman
kita, tetapi yakinlah. Suatu saat kita akan bertemu lagi dengan senyum yang
berkembang di surganya Allah SWT.
Pesan
singkat ini seperti suntikan motivasi yang besar untukku. Namun di sisi lain
juga menjadi tamparan yang begitu keras bagiku. Benar kata kawanku. Sekarang
kami memang berpisah, tetapi jika kami istiqomah,
Allah pasti akan mempertemukan kami semua. Jika tidak bisa bertemu di dunia,
Insya Allah masih ada surga yang kekal abadi.
Pertanyaan
baru muncul di kepalaku. Ali, selama ini
untuk siapa kau berdakwah? untuk siapa kau habiskan waktumu demi syiar islam
yang terus ada? untuk Allah kah? atau untuk teman-temanmu? kenapa kau langsung
menyerah ketika teman-temanmu
meninggalkanmu? bukankah kau masih memiliki Tuhan yang maha pengasih lagi maha
penyayang.
Mataku
tiba-tiba terasa hangat. Dan dadaku serasa ingin meledak. Air sungai yang sudah
susah payah kubendung, jebol juga. Butiran-butiran
air suci itu mengalir tanpa jeda dari pelupuk mataku.
Disaksikan
jutaan penduduk langit saat itu, aku menangis sejadi-jadinya. Aku merasa bodoh
karena telah menjadi lelaki yang pengecut. Lari dari kenyataan dan bersembunyi
di bawah bayang-bayang kegelapan. Aku mencoba membuang diriku kedalam kemalasan
karena tak ada lagi teman yang mengingatkanku.
SMS
dari adib telah menjadi palu besar yang menghancurkan tembok kegelapanku. Dan
saat itu pula cahaya sang Illahi langsung masuk ke relung hatiku. Aku merasa
ingin segera bertemu dengan Rabb-ku. Meminta maaf kepadanya atas kelalaianku
berbulan-bulan ini. Aku ingin kembali memulai dari awal. Memulai untuk kembali
ke jalur yang sama dengan teman-temanku.
TAMAT
0 komentar:
Posting Komentar