Diberdayakan oleh Blogger.

7 Desember 2012

PAHLAWAN KEBERSIHAN



Lari pagi menjadi salah satu belahan jiwanya. Yang tak kan terpisah dari dalam dirinya sampai kapanpun. Karena jika sekali saja ia meninggalkan olahraga rakyat itu, maka mendung akan menaungi hatinya. Membuatnya tak bisa untuk bekerja secara optimal.
Bagi seorang Rizki, ada beberapa hal yang membuat lari pagi menjadi bagian yang istimewa untuk dirinya. Membuat cahaya kebahagiaan selalu menaungi hatinya ketika melakukan aktivitas itu.
Ketika baru keluar dari istananya, semilir angin langsung menyambut. Merabai dengan lembut setiap jengkal tubuh yang ada. Suara desaunya seolah membisikkan kata-kata di telinganya. Wahai pemuda. Beruntunglah dirimu karena menjadi manusia yang bisa menikmati keindahan pagi. Keindahan surgawi yang tak tiap orang bisa menikmati.
Sambutan kedua yang didapatnya adalah pesona sang fajar yang merekah kemerahan. Membuat mata berbinar ketika menyaksikannya. Membuat mulut tak sanggup tertutup ketika dihadapkan dengan pemandangan ini.
Sambutan yang terakhir adalah sejuknya udara pagi. Udara yang masih segar dan bersih. Masih steril dari asap kendaraan-kendaraan bermotor yang terkadang menyesakkan pernafasan.
Pukul 05.00 pagi, Rizki sudah mempersiapkan diri. Ia sudah rapi dengan sepatu olahraga dan sebuah tas kecil yang terikat di pinggangnya sebagai tempat menyimpan air. Setelah cukup melakukan pemanasan, ia pun segera berjalan menuju tempat tujuannya.

Tak cukup lama bagi Rizki untuk mencapai tempat lari favoritnya di kawasan simpang lima. Ada beberapa hal yang membuat tempat ini jadi favorit untuknya.
Ketika ia datang, angin langsung bertiup menerpa dirinya. Seolah berbisik, selamat datang kawan. Pohon-pohon melambai-lambai seketika, seperti ingin menjabat tangannya. Dan beberapa burung yang ada disitu berkicau begitu saja. Seakan mengajak Rizki untuk bernyanyi bersama.
Iasegera memulai olahraga paginya dengan lari-lari kecil. Terlihat begitu pelan di mata orang-orang yang memandang. Tak tampak seperti berlari. Selesai dengan 1 putaran, Rizki menambah kecepatannya. Dan terus ia lakukan hingga mencapai 5 putaran.
Waktu berjalan secepat angin. Hanya 20 menit waktu yang diminta untuk menyelesaikan kelima putaran itu. Namun Rizki tidak langsung duduk. Ia kembali mengelilingi bundaran itu sekali lagi dengan berjalan.
Dengan nafas yang terengah-engah, ia mencari tempat yang pas untuk beristirahat. Walaupun sebenarnya ia bisa beristirahat di sisi manapun dari tempat itu, ia ingin mencari panorama yang lain dari yang pernah ia lihat.
Setelah mengamati sekeliling, dapatlah ia sebuah tempat yang sesuai. Tak jauh dari tempatnya berdiri, ada sebuah dudukan yang terbuat dari semen. Dari tempat itu Rizki bisa melihat sekumpulan burung yang sedang bemain-main di rumput yang lapang. Dan tak jauh dari makhluk lucu itu, seorang bapak tua sedang bekerja keras untuk menyelamatkan lingkungan. Tanpa banyak pikir lagi, Rizki segera beranjak kesana.
Sampai di tempat itu, Rizki segera merilekskan tubuhnya. Semua urat-urat sendinya yang tadi sempat tegang, mulai kembali normal. Rasa gerah yang menyelimuti tubuhnya pun menguap dengan terpaan air yang datang.
Sambil terus mengamati seorang bapak yang sedang membersihkan jalan, Rizki meneguk air mineralnya. Seluruh badannya benar-benar terasa segar, saat air itu mengaliri tubuhnya.
Tiba-tiba pemandangan yang tadi begitu menyejukkan hati Rizki, berubah menjadi lahar panas baginya. Di depan mata kepalanya sendiri, ia melihat sesosok pemuda membuang sampah dengan begitu enaknya. Padahal di dekatnya ada tempat sampah dan tempat itupun tengah dibersihkan oleh bapak tadi. Rizki pun begitu geram melihat pemuda ini. Dan ingin ia lumat segera.
Rizki berjalan mendekati pria tadi dengan lahar yang meluap-luap di dadanya. Ia pun sudah tak sabar untuk mengeluarkan kata-kata tajam untuk pria ini. “Berhentiiii!” Teriak Rizki saat posisinya sudah begitu dekat.
Pria itu melihat dengan tatapan tak bersahabat. Dengan langkah santai ia berjalan mendekati Rizki. “Apa kau bicara padaku?!” Ucap pria itu dengan nada mengancam.
“Iya. Benar. Aku bicara padamu.” Tantang Rizki tak kalah garang.
“Apa masalahmu?”
“Kau itu tidak pernah diajari sopan santun ya. Kau tak lihat bapak ini sedang membersihkan lingkungan, dengan seenaknya kau membuang sampah sembarangan. Atau kau buta?”
“Memangnya kenapa kalau aku buang sampah sembarangan? kau tak terima. Kau tak tahu siapa aku.”
“Siapapun dirimu, kau tak berhak melakukan hal itu. Kalau kau pria sejati, kau harus menghormati orang yang lebih tua darimu. Atau kau ini banci ya?”
Mendengar perkataan Rizki yang begitu memedaskan telinga, pria ini langsung naik pitam. Tanpa basa-basi ia langsung menarik kerah baju Rizki dengan keras. “Apa kau bilang?! Aku banci?!”
“Hahaha.” Rizki tertawa kecil. “Sekarang terbukti kalau kau ini memang banci. Kau langsung menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan masalah. Orang sepertimu ini yang membuat bangsa ini dalam keterpurukan.”
“Bicara sekali lagi, aku pastikan tinju ini akan mendarat di lehermu.” Ancam pria itu.
Bapak yang sedang menyapu kawasan itu, terperanjat melihat konflik yang terjadi di depan matanya. Tanpa pikir panjang, bapak itu segera beranjak kesana. “Sudah nak. Sudah. Tolong lepaskan pria ini.” Pinta bapak itu.
“Minggir orang tua!” Ucap Sang pria dengan kasar. Ia mendorong bapak tadi hingga terjatuh.
Melihat bapak itu terjatuh tepat di depan matanya, benar-benar meledaklah lahar yang ada di hati Rizki. Dengan sekuat tenaga ia hadiahkan tinjunya ke arah pria tadi. Terpentalah sang pria hingga badanya terhempas ke tanah.
Perkelahian tak bisa dihindari lagi. Dengan membabi buta Rizki kembali menghajar pria itu. Sang pria juga tangguh ternyata. Beberapa kali ia bisa menghindari pukulan Rizki. Bahkan ia juga berhasil memberikan bokeman ke arah wajah Rizki.
Bapak tadi terus berteriak supaya Rizki dan pria itu menghentikan perkelahiannya. Namun diri mereka terlanjur diselimuti dengan amarah, hingga tak mampu mendengar sepatah katapun. Yang ada di pikirin mereka berdua hanyalah terus bertarung hingga salah satu ada yang tumbang.
Akhirnya setelah meminta tolong masyarakat yang mulai rame memadati tempat itu, perkelahian pun dapat dihentikan. Beberapa orang segera menarik Rizki ke sisi yang lain. Mereka agak kerepotan menahan tubuh Rizki yang cukup besar. Setelah beberapa menit berjalan, Rizki pun mendapatkan kesadarannya kembali.
Ia mendaratkan tubuhnya begitu saja di atas tanah. Badannya terasa begitu lelah. Apalagi sebelumnya ia sudah berlari mengelilingi lapangan simpang lima. Ditambah rasa perih yang harus diterimanya dari ujung bibirnya.
Bapak itu berjalan mendekati Rizki dengan tatapan iba. Lalu ia duduk tepat di samping Rizki.“Ini dek.” Bapak itu menyerahkan sapu tangan kepada Rizki.
Rizki menerima sambil tersenyum. “Terima kasih pak.” Ucapnya lembut. Ia segera membersihkan darah yang masih mengalir di bibirnya.
“Namamu siapa nak?”
“Rizki pak. Kalau bapak?”
“Panggil saja pak Ali.”
“Saya benar-benar kesal dengan orang tadi pak. Kalau bertemu lagi, saya ingin menghajarnya sampai mati.”
“Sabar nak. Sebenarnya tadi itu masalah kecil. Kenapa kamu sampai harus bertengkar seperti itu. Sekarang yang rugi kamu sendiri kan? kamu sendiri kan yang merasakan sakit?”
“Sakit ini tak seberapa jika dibangingkan dengan luka di hati saya pak. Saya benar-benar marah ketika melihat dia bertingkah dengan seenaknya seperti itu pak. Saya tahu bapak sudah bekerja keras untuk membersihkan tempat ini, bagaimana saya bisa diam saja melihat ia melakukan hal kurang ajar seperti itu? apalagi ia sudah mendorong bapak hingga jatuh.”
“Saya sudah biasa nak diperlakukan seperti itu. Memang itulah rezeki saya. Kalau gak ada yang buang sampah sembarangan, nanti gak ada lagi petugas kebersihan di kota ini. hehe.” Bapak itu tertawa kecil.
Rizki ikut tertawa. “Bapak itu masih bisa bercanda.” Tiba-tiba ia seperti mendapat sebuah ide. “Oh ya pak. Sekarang di perusahaan saya, masih membutuhkan beberapa karyawan. Daripada bapak bekerja sebagai tukang kebersihan, lebih baik bapak bergabung dengan saya. Dan saya bisa jamin kalau gajinya akan lebih besar.”
“Hahaha.” Pak Ali tertawa dengan begitu kerasnya.
“Bapak kok malah tertawa?” tanya Rizki kurang paham.
“Lha adek ini lucu ok. Masak saya disuruh kerja di perusahaan. Mau kerja apa coba.”
“Saya ini gak bercanda pak. Perusahaan itu bukan hanya tempatnya orang-orang pintar tapi juga orang yang mempunyai semangat tinggi dan mau bekerja keras. Dan saya yakin bapak mempunyai semua sifat itu.”
“Terima kasih dek untuk penawarannya. Tetapi saya tak bisa menerimanya.”
“Kenapa pak?” Rizki tampak kebingungan. “Bukannya sombong. Tetapi banyak orang yang ingin masuk ke perusahaan saya. Apakah bapak tidak ingin mempertimbangkannya lagi?”
“Tidak dek. Saya sudah yakin dengan jawaban saya.”
“Kalau boleh tahu, apa yang membuat bapak tidak mau meninggalkan pekerjaan ini?” tanya Rizki lagi.
Bapak itu menerawang ke angkasa. Dengan mata berbinar, ia pun berucap. “Saya begitu mencintai pekerjaan ini. Tentu saja bukan karena gajinya, kau pun tahu berapa gaji petugas kebersihan. Sangat sedikit. Tetapi saya begitu senang ketika bisa melakukan hal ini. Saya begitu puas dan gembira saat melihat wilayah ini menjadi bersih. Mungkin tak banyak orang yang ingin melakukan pekerjaan ini, tetapi hal ini menjadi kebangaan tersendiri untuk saya. Bahkan saya berharap bisa menjalani pekerjaan ini sampai ajal menjemput.”
Rizki hanya mampu diam seribu bahasa. Ia pun tak bisa mengelak kalau jawaban sang bapak telah berhasil memancing haru di hatinya. “Bapak adalah pahlawan kebersihan.” Ucap Rizki lirih.
“Tidak dek. Saya bukan pahlawan. Saya hanya orang biasa yang ingin melihat bumi ini tetap menjadi asri untuk selamanya.” Ucap Sang bapak sambil terus menerawang ke angkasa.
TAMAT




0 komentar:

Posting Komentar

 

Blog Archive

Pengikut

Total Tayangan Halaman

Jadwal Shalat