Lari
pagi menjadi salah satu belahan jiwanya. Yang tak kan terpisah dari dalam
dirinya sampai kapanpun. Karena jika sekali saja ia meninggalkan olahraga
rakyat itu, maka mendung akan menaungi hatinya. Membuatnya tak bisa untuk
bekerja secara optimal.
Bagi
seorang Rizki, ada beberapa hal yang membuat lari pagi menjadi bagian yang
istimewa untuk dirinya. Membuat cahaya kebahagiaan selalu menaungi hatinya
ketika melakukan aktivitas itu.
Ketika
baru keluar dari istananya, semilir angin langsung menyambut. Merabai dengan
lembut setiap jengkal tubuh yang ada. Suara desaunya seolah membisikkan
kata-kata di telinganya. Wahai pemuda.
Beruntunglah dirimu karena menjadi manusia yang bisa menikmati keindahan pagi.
Keindahan surgawi yang tak tiap orang bisa menikmati.
Sambutan
kedua yang didapatnya adalah pesona sang fajar yang merekah kemerahan. Membuat
mata berbinar ketika menyaksikannya. Membuat mulut tak sanggup tertutup ketika
dihadapkan dengan pemandangan ini.
Sambutan
yang terakhir adalah sejuknya udara pagi. Udara yang masih segar dan bersih.
Masih steril dari asap kendaraan-kendaraan bermotor yang terkadang menyesakkan
pernafasan.
Pukul
05.00 pagi, Rizki sudah mempersiapkan diri. Ia sudah rapi dengan sepatu
olahraga dan sebuah tas kecil yang terikat di pinggangnya sebagai tempat
menyimpan air. Setelah cukup melakukan pemanasan, ia pun segera berjalan menuju
tempat tujuannya.
Tak
cukup lama bagi Rizki untuk mencapai tempat lari favoritnya di kawasan simpang
lima. Ada beberapa hal yang membuat tempat ini jadi favorit untuknya.
Ketika
ia datang, angin langsung bertiup menerpa dirinya. Seolah berbisik, selamat
datang kawan. Pohon-pohon melambai-lambai seketika, seperti ingin menjabat
tangannya. Dan beberapa burung yang ada disitu berkicau begitu saja. Seakan
mengajak Rizki untuk bernyanyi bersama.
Iasegera
memulai olahraga paginya dengan lari-lari kecil. Terlihat begitu pelan di mata
orang-orang yang memandang. Tak tampak seperti berlari. Selesai dengan 1
putaran, Rizki menambah kecepatannya. Dan terus ia lakukan hingga mencapai 5
putaran.
Waktu
berjalan secepat angin. Hanya 20 menit waktu yang diminta untuk menyelesaikan
kelima putaran itu. Namun Rizki tidak langsung duduk. Ia kembali mengelilingi
bundaran itu sekali lagi dengan berjalan.
Dengan
nafas yang terengah-engah, ia mencari tempat yang pas untuk beristirahat.
Walaupun sebenarnya ia bisa beristirahat di sisi manapun dari tempat itu, ia
ingin mencari panorama yang lain dari yang pernah ia lihat.
Setelah
mengamati sekeliling, dapatlah ia sebuah tempat yang sesuai. Tak jauh dari
tempatnya berdiri, ada sebuah dudukan yang terbuat dari semen. Dari tempat itu
Rizki bisa melihat sekumpulan burung yang sedang bemain-main di rumput yang
lapang. Dan tak jauh dari makhluk lucu itu, seorang bapak tua sedang bekerja
keras untuk menyelamatkan lingkungan. Tanpa banyak pikir lagi, Rizki segera
beranjak kesana.
Sampai
di tempat itu, Rizki segera merilekskan tubuhnya. Semua urat-urat sendinya yang
tadi sempat tegang, mulai kembali normal. Rasa gerah yang menyelimuti tubuhnya
pun menguap dengan terpaan air yang datang.
Sambil
terus mengamati seorang bapak yang sedang membersihkan jalan, Rizki meneguk air
mineralnya. Seluruh badannya benar-benar terasa segar, saat air itu mengaliri
tubuhnya.
Tiba-tiba
pemandangan yang tadi begitu menyejukkan hati Rizki, berubah menjadi lahar
panas baginya. Di depan mata kepalanya sendiri, ia melihat sesosok pemuda
membuang sampah dengan begitu enaknya. Padahal di dekatnya ada tempat sampah
dan tempat itupun tengah dibersihkan oleh bapak tadi. Rizki pun begitu geram
melihat pemuda ini. Dan ingin ia lumat segera.
Rizki
berjalan mendekati pria tadi dengan lahar yang meluap-luap di dadanya. Ia pun
sudah tak sabar untuk mengeluarkan kata-kata tajam untuk pria ini.
“Berhentiiii!” Teriak Rizki saat posisinya sudah begitu dekat.
Pria
itu melihat dengan tatapan tak bersahabat. Dengan langkah santai ia berjalan
mendekati Rizki. “Apa kau bicara padaku?!” Ucap pria itu dengan nada mengancam.
“Iya.
Benar. Aku bicara padamu.” Tantang Rizki tak kalah garang.
“Apa
masalahmu?”
“Kau
itu tidak pernah diajari sopan santun ya. Kau tak lihat bapak ini sedang
membersihkan lingkungan, dengan seenaknya kau membuang sampah sembarangan. Atau
kau buta?”
“Memangnya
kenapa kalau aku buang sampah sembarangan? kau tak terima. Kau tak tahu siapa
aku.”
“Siapapun
dirimu, kau tak berhak melakukan hal itu. Kalau kau pria sejati, kau harus
menghormati orang yang lebih tua darimu. Atau kau ini banci ya?”
Mendengar
perkataan Rizki yang begitu memedaskan telinga, pria ini langsung naik pitam.
Tanpa basa-basi ia langsung menarik kerah baju Rizki dengan keras. “Apa kau
bilang?! Aku banci?!”
“Hahaha.”
Rizki tertawa kecil. “Sekarang terbukti kalau kau ini memang banci. Kau
langsung menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan masalah. Orang sepertimu ini
yang membuat bangsa ini dalam keterpurukan.”
“Bicara
sekali lagi, aku pastikan tinju ini akan mendarat di lehermu.” Ancam pria itu.
Bapak
yang sedang menyapu kawasan itu, terperanjat melihat konflik yang terjadi di
depan matanya. Tanpa pikir panjang, bapak itu segera beranjak kesana. “Sudah
nak. Sudah. Tolong lepaskan pria ini.” Pinta bapak itu.
“Minggir
orang tua!” Ucap Sang pria dengan kasar. Ia mendorong bapak tadi hingga
terjatuh.
Melihat
bapak itu terjatuh tepat di depan matanya, benar-benar meledaklah lahar yang
ada di hati Rizki. Dengan sekuat tenaga ia hadiahkan tinjunya ke arah pria
tadi. Terpentalah sang pria hingga badanya terhempas ke tanah.
Perkelahian
tak bisa dihindari lagi. Dengan membabi buta Rizki kembali menghajar pria itu.
Sang pria juga tangguh ternyata. Beberapa kali ia bisa menghindari pukulan
Rizki. Bahkan ia juga berhasil memberikan bokeman ke arah wajah Rizki.
Bapak
tadi terus berteriak supaya Rizki dan pria itu menghentikan perkelahiannya.
Namun diri mereka terlanjur diselimuti dengan amarah, hingga tak mampu mendengar
sepatah katapun. Yang ada di pikirin mereka berdua hanyalah terus bertarung
hingga salah satu ada yang tumbang.
Akhirnya
setelah meminta tolong masyarakat yang mulai rame memadati tempat itu,
perkelahian pun dapat dihentikan. Beberapa orang segera menarik Rizki ke sisi
yang lain. Mereka agak kerepotan menahan tubuh Rizki yang cukup besar. Setelah
beberapa menit berjalan, Rizki pun mendapatkan kesadarannya kembali.
Ia
mendaratkan tubuhnya begitu saja di atas tanah. Badannya terasa begitu lelah.
Apalagi sebelumnya ia sudah berlari mengelilingi lapangan simpang lima.
Ditambah rasa perih yang harus diterimanya dari ujung bibirnya.
Bapak
itu berjalan mendekati Rizki dengan tatapan iba. Lalu ia duduk tepat di samping
Rizki.“Ini dek.” Bapak itu menyerahkan sapu tangan kepada Rizki.
Rizki
menerima sambil tersenyum. “Terima kasih pak.” Ucapnya lembut. Ia segera
membersihkan darah yang masih mengalir di bibirnya.
“Namamu
siapa nak?”
“Rizki
pak. Kalau bapak?”
“Panggil
saja pak Ali.”
“Saya
benar-benar kesal dengan orang tadi pak. Kalau bertemu lagi, saya ingin
menghajarnya sampai mati.”
“Sabar
nak. Sebenarnya tadi itu masalah kecil. Kenapa kamu sampai harus bertengkar
seperti itu. Sekarang yang rugi kamu sendiri kan? kamu sendiri kan yang
merasakan sakit?”
“Sakit
ini tak seberapa jika dibangingkan dengan luka di hati saya pak. Saya
benar-benar marah ketika melihat dia bertingkah dengan seenaknya seperti itu
pak. Saya tahu bapak sudah bekerja keras untuk membersihkan tempat ini,
bagaimana saya bisa diam saja melihat ia melakukan hal kurang ajar seperti itu?
apalagi ia sudah mendorong bapak hingga jatuh.”
“Saya
sudah biasa nak diperlakukan seperti itu. Memang itulah rezeki saya. Kalau gak
ada yang buang sampah sembarangan, nanti gak ada lagi petugas kebersihan di kota
ini. hehe.” Bapak itu tertawa kecil.
Rizki
ikut tertawa. “Bapak itu masih bisa bercanda.” Tiba-tiba ia seperti mendapat
sebuah ide. “Oh ya pak. Sekarang di perusahaan saya, masih membutuhkan beberapa
karyawan. Daripada bapak bekerja sebagai tukang kebersihan, lebih baik bapak
bergabung dengan saya. Dan saya bisa jamin kalau gajinya akan lebih besar.”
“Hahaha.”
Pak Ali tertawa dengan begitu kerasnya.
“Bapak
kok malah tertawa?” tanya Rizki kurang paham.
“Lha
adek ini lucu ok. Masak saya disuruh kerja di perusahaan. Mau kerja apa coba.”
“Saya
ini gak bercanda pak. Perusahaan itu bukan hanya tempatnya orang-orang pintar
tapi juga orang yang mempunyai semangat tinggi dan mau bekerja keras. Dan saya
yakin bapak mempunyai semua sifat itu.”
“Terima
kasih dek untuk penawarannya. Tetapi saya tak bisa menerimanya.”
“Kenapa
pak?” Rizki tampak kebingungan. “Bukannya sombong. Tetapi banyak orang yang
ingin masuk ke perusahaan saya. Apakah bapak tidak ingin mempertimbangkannya
lagi?”
“Tidak
dek. Saya sudah yakin dengan jawaban saya.”
“Kalau
boleh tahu, apa yang membuat bapak tidak mau meninggalkan pekerjaan ini?” tanya
Rizki lagi.
Bapak
itu menerawang ke angkasa. Dengan mata berbinar, ia pun berucap. “Saya begitu
mencintai pekerjaan ini. Tentu saja bukan karena gajinya, kau pun tahu berapa
gaji petugas kebersihan. Sangat sedikit. Tetapi saya begitu senang ketika bisa
melakukan hal ini. Saya begitu puas dan gembira saat melihat wilayah ini
menjadi bersih. Mungkin tak banyak orang yang ingin melakukan pekerjaan ini,
tetapi hal ini menjadi kebangaan tersendiri untuk saya. Bahkan saya berharap
bisa menjalani pekerjaan ini sampai ajal menjemput.”
Rizki
hanya mampu diam seribu bahasa. Ia pun tak bisa mengelak kalau jawaban sang
bapak telah berhasil memancing haru di hatinya. “Bapak adalah pahlawan
kebersihan.” Ucap Rizki lirih.
“Tidak
dek. Saya bukan pahlawan. Saya hanya orang biasa yang ingin melihat bumi ini
tetap menjadi asri untuk selamanya.” Ucap Sang bapak sambil terus menerawang ke
angkasa.
TAMAT
0 komentar:
Posting Komentar