Doni sedang duduk termenung di kursi terasnya. Begitu banyak pikiran berjubel di kepalanya. Matanya tampak tak fokus. Seperti ingin melihat sesuatu tapi tak kunjung ketemu.
Terkadang ia tengadahkan wajahnya ke langit. Seperti ingin mendapatkan jawaban dari sana. Namun hanya angin saja yang lewat membelai wajahnya. Tak ada sama sekali pemecahan masalah yang didapat.
Baru beberapa hari yang lalu ia berjanji kepada orang tuanya untuk tidak meninggalkan Ahmad. Namun sekarang janji itu langsung diuji oleh Allah.
Semalm ia menerima sebuah kabar dari pihak sekolah, kalau ia berhasil mendapat beasiswa dari Universitas Gajah Mada di fakultas kedokteran.
Sejak kecil ia memang begitu ingin untuk menjadi dokter. Bahkan ia sudah berusaha keras sejak SMA untuk selalu mendapatkan nilai terbaik. Juara umum tidak pernah lepas dari tangannya. Ia selalu menempati rangking teratas di sekolah.
Saat itu hanya satu yang ada di pikirannya. Ia bisa mendapat beasiswa di salah satu perguruan tinggi favorit. Doni ingin meringankan beban orang tuanya. Dan UGM yang selalu melekat di pikirannya.
Ia benar-benar bingung untuk berbuat. Di satu sisi, ia tentu tidak tega untuk meninggalkan adiknya sendirian. Walaupun ada kerabat di Semarang, namun hatinya tetap menolak hal itu. Disisi keegoisannya, Doni tidak mau melepas kesempatan ini. Ia sudah berjuang selama 3 tahun untuk mengejar mimpi ini. Dan tidak mungkin ia buang begitu saja.
Akhirnya Doni menyerah. Ia tak bisa memecahkan masalah ini sendiri. Ia butuh nasehat dari seseorang. Dan setiap ada masalah Doni hanya akan mengadu ke tiga orang. Ibunya, Ayahnya dan Firman. Seorang teman yang sudah dianggap sebagai kakak sendiri olehnya.
***
Doni duduk dengan nyaman di sebuah kursi panjang yang terbuat dari busa. Di depan matanya tergambar seorang pria yang juga tengah santai. Sekali-kali ia menyruput segelas teh yang ada di depannya. Sedangkan matanya terus asyik menatap goresan pena yang ada di surat kabar.
“Maan?” Ucap Doni sambil berteriak.
“Heeeem.” Jawab Firman singkat sambil terus mengamati korannya.
“Ah kau ini dimintai pendapat malah asyik baca koran.” Doni mulai kesal. Namun Firman tetap saja asyik dengan tulisan-tulisan yang ada di sana
“Maan?!” Ucap Doni lagi lebih keras.
“Apa sih?” balas Firman yang mulai menghentikan bacaannya.
“Bagaimana aku harus bersikap?”
“Ya aku tak tahu. Hanya kamu sendiri yang tahu.”
“Kalau aku tahu, aku gak bakal kesini Man.” Jawan Doni agak kesal.
“Baiklah. Sekarang mulai serius.” Tatap Firman tajam.
“Antara cita-cita dan tanggung jawab seorang kakak ya? sebenarnya aku juga tidak bisa menjawab hal ini dengan bijak. Aku juga tipe orang yang tidak akan melepaskan impianku dengan begitu mudah. Kalau kau memang ingin mengejar mimpimu, Silahkan. Aku akan dengan ikhlas menjaga adikmu. Biar ia tinggal di sini. Rumah ini terlalu besar untuk hanya ditinggali 5 orang. Namun aku tidak bisa menjamin adikmu bisa bahagia, karena aku yakin hanya kaulah yang bisa membahagiakannya.” Terang Firman panjang lebar. Doni memperhatikan dengan begitu serius.
“Sekarang kuncinya ada di tanganmu sendiri. Sebenarnya kau salah juga datang ke tempatku. Lebih baik kau langsung minta pendapat kepada adikmu. Itu akan jauh lebih baik untukmu.” Lanjut Firman kembali.
“Baiklah. Terima kasih atas masukanmu. Ini sedikit meringankan beban di bahuku. Aku akan mencari waktu yang tepat untuk berbicara dengan Ahmad.” kata Doni. Ia lalu meminum teh yang ada di depannya.
Setelah menghabiskan teh yang disajikan, ia langsung pamit kepada Firman. Sekarang beban di pikirannya sudah agak berkurang. Doni merasa tak perlu mencemaskan Ahmad lagi. Sahabatnya Firman sudah mau merawatnya ketika Doni nanti kuliah. Sekarang tinggal Ahmad sendiri yang memutuskan. Apakah ia mengijinkan kakaknya kuliah di luar kota atau tidak.
***
Doni baru saja sampai rumah. Ia begitu kaget melihat adiknya sedang menangis tersedu-sedu di teras rumah. Di tangannya ada selembar surat yang dipegang dengan erat.
Doni berjalan mendekatinya lalu duduk di sampingnya. Ia melihat adiknya ini dengan penuh tanda tanya. Padahal sejak dua hari yang lalu Ahmad sudah mulai bisa menerima keadaan. Ia sudah tidak lagi menangis dan mulai bisa tersenyum. Walaupun senyuman itu terkesan di paksakan.
“Kakak akan pergi meninggalkan Ahmad juga?” Ahmad mulai berkata dengan isak tangis yang begitu dalam.
“Pergi kemana dek?” tanya Doni kebingungan.
“Ini.” Ahmad menyerahkan sebuah kertas.
“Ini?” mata Doni langsung terbelalak ketika membaca surat itu.
“Ini baru tiba tadi kak. Selamat ya kak? kakak bisa menjadi dokter seperti yang kakak impikan.” Ucap Ahmad dengan rasa senang bercampur sedih.
“Tapi?” Doni tidak melanjutkan ucapannya.
“Tenang kak. Kak Doni tidak perlu mencemaskan Ahmad. Ahmad minta maaf beberapa hari yang lalu sudah begitu depresi. Ahmad memang belum siap dengan kepergian ayah dan ibu yang begitu cepat.” Terang Ahmad dengan air mata yang terus mengalir.
“Tapi Kak? sekarang Ahmad sudah sadar. Ahmad tidak mau lagi terpuruk dalam kesedihan. Ahmad ingin ayah dan ibu bahagia disana. Jadi Ahmad harus ikhlas melepaskan mereka. Yang harus Ahmad lakukan sekarang adalah berjuang keras. Berjuang untuk mempertahankan prestasi Ahmad dan bisa masuk SMP N 2 Semarang seperti cita-citaku. Dan terus berprestasi sehingga ayah dan ibu bisa bangga. Dan Ahmad juga harus berjuang untuk lebih serius dalam beribadah. Melaksanakan segala yang disunahkan. Agar ayah dan ibu bisa lebih bahagia disana. Karena mempunyai anak yang pintar dan Sholeh.” Ucap Ahmad kembali. Doni mendengarkan dengan dada yang begitu sesak. Dan Akhirnya air suci tumpah dari mata sang kakak.
“Apakah kau ini benar-benar adikku?” tanya Ahmad dengan isak tangis yang begitu menyayat hati.
“Iya kak. Ini aku adikmu.” Jawab Ahmad sambil menganggukkan kepalanya.
“Beberapa hari ini aku terus berpikir kalau aku masih begitu kecil untuk ditinggal pergi ayah dan ibu. Dan Ahmad saat marah sekali saat itu kepada Allah karena telah mengambil orang tua kita. Tetapi Ahmad berpikir, pasti Allah mempunyai pikiran lain. Allah ingin membuat Ahmad menjadi lebih dewasa. Lebih bertanggung jawab. Allah tidak ingin Ahmad menjadi seperti anak-anak lain. Yang begitu manja kepada orang tuanya. Mungkin juga Allah tidak ingin Ahmad menjadi anak durhaka kelak. Yang rela meninggalkan orang tuanya demi pekerjaan ataupun demi wanita yang dicintai. Dan menurut Ahmad ada banyak lagi hikmah di balik musibah ini.” Tambah Ahmad. Doni terus dibuat tidak percaya atas kedewasaan yang tiba-tiba muncul dari adiknya ini.
“Dan kamu ikhlas kakak pergi kuliah ke UGM?” tanya Doni agak ragu.
“Iya kak. Ahmad ikhlas. Pergilah untuk menggapai cita-cita Kakak. Buat ayah dan ibu bangga karena memiliki anak yang luar biasa. Buat dunia tahu kak. bahwa kita dua anak yatim piatu ini bisa maju. Mengalahkan anak-anak lain yang masih mempunyai ayah dan ibu.” Jawab Ahmad dengan mantab.
“Tapi bagaimana kakak tega meninggalkanmu seorang diri dik? siapa yang nanti akan membimbingmu? bagaimana jika kau sampai jatuh ke dalam kegelapan?” Doni benar-benar tidak yakin akan saran adiknya.
“Kakak tidak perlu cemas. Paman dan bibi juga ada yang tinggal di Semarang kan? dan untuk siapa yang akan membimbingku, selama Ahmad masih punya Allah, Allah juga lah yang akan menjaga Ahmad.” Jawab adiknya ini.
Tanpa basa-basi Doni langsung memeluk Ahmad. Air mata keduanya terus berjatuhan ke lantai teras ini. Betapa bahagianya dia melihat perubahan drastis dari sang adik. Ia berbicara begitu dewasa. Bahkan jauh lebih dewasa daripada dirinya. Perubahan sikap yang benar-benar berbeda dari beberapa hari yang lalu. Entah malaikat apa yang sudah merasuk di tubuh adiknya.
“Ibu. Ayah. Kalian pasti sedang tersenyum sekarang. Lihatlah Ahmad. Anak kalian yang masih begitu kecil. Adikku yang baru lulus dari Sekolah dasar. Tapi bisa berbicara dengan begitu bijak, melebihi anak-anak yang sudah mahasiswa. Ayah. Ibu. Mohon do’akan kami dari sana. Agar kami bisa menjadi anak yang cerdas dan sholeh. Amin.” Ucap Doni didalam hati.
Salam hangat dari kami Bamz Production
0 komentar:
Posting Komentar